Jumat, 02 September 2016


Fede Alvarez, sutradara yang memulai debut Hollywoodnya dengan remake Evil Dead (2013) akhir Agustus 2016 ini kembali dengan sebuah film horror-thriller berformulakan home invasion, Don’t Breathe. Judul film sendiri menjadi sebuah pesan kepada semua karakter, juga kita sebagai penontonnya. Dengan durasi 80 menit yang begitu thrilling setiap menitnya dijamin akan membuatmu sulit untuk bernafas.

Menceritakan tentang Rocky (Jane Levy), Alex (Dylan Minnette) dan Money (Daniel Zovatto), tiga perampok amatir di sebuah kota kecil yang berencana menjalankan aksinya dengan target sebuah rumah di daerah sepi yang hanya dihuni seorang veteran perang buta (Stephen Lang). Sang pria buta tersebut diduga menyimpan $300.000 di dalam rumahnya. Namun tanpa disangka, perampokan yang dianggap akan berjalan lancar dan mudah ternyata kacau balau bahkan menjadi neraka bagi ketiganya.

Fede Alvarez memang tidak menjadikan Don’t Breathe horror gore seperti Evil Dead, namun bukan berarti film ini tidak membuat penontonnya frustrasi. Dengan kesederhanaan narasi namun terasa solid hasil besutan sang sutradara dan Rodo Sayagues Mendez, Don’t Breathe tetap efektif menggungcang emosi dan tetap brutal.

Dari segi teknis, Don’t Breathe memang juara. Tidak semata-mata hanya sekedar film horror yang menyeramkan, Don’t Breathe menyajikan sesuatu yang berbeda yang jarang ditemui di film-film sejenis: keindahan film itu sendiri. Sang sinematografer, Pedro Luque memang menjadi salah satu MVP di film ini. Melalui pergerakan kamera yang dinamis, Pedro seolah-olah mengajak penonton untuk melihat gambaran rumah secara keseluruhan dan memperlihatkan dimana para karakter berada untuk mencari harta karun $300.000. Bukan hanya sekedar memberikan visual yang apik dan unik, namun secara bersamaan menghadirkan ketegangan juga menaikan tensi kegelisahan kepada para penonton setiap menitnya. Sensasi klaustrofobik yang luar biasa dihadirkan setiap scene nya, terlebih di salah satu momen terbaik dalam film ini, dimana melibatkan adegan petak umpet dalam keadaan benar-benar gelap dan juga dishoot dengan mode night-vision—terlihat dari pupil para karakter yang membesar karena mencari cahaya. Kita sesaat diajak untuk merasakan apa yang si tuan rumah rasakan. Namun dengan terbiasanya dengan kegelapan dan juga detail setiap ruangan, sang tuan rumah menjadi lebih diuntungkan. Ya, adegan tersebut menjadi adegan yang paling menyakitkan karena benar-benar menguras tenaga juga secara literal membuat para penontonnya untuk menahan nafas.


Di departemen casting, Don’t Breathe tidak bisa diangap ‘biasa saja’. Semua bermain dengan performa yang luar biasa. Jane Levy  yang sebelumnya juga bermain di Evil Dead bermain cukup apik. Tidak hanya memperlihatkan betapa frustrasinya, namun juga memperlihatkan betapa kuat tekadnya untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuannya di awal. Dylan Minnette dan juga Daniel Zovatto bermain pas tanpa kurang. Para perampok diperlihatkan ‘amatir’ namun tidak serta merta datang tanpa persiapan. Mereka dijadikan sebagai perampok yang cukup meyakinkan dan memahami berbagai detai dan resikonya.  Sang lawan, Stephen Lang yang sebelumnya dikenal bermain di film Avatar garapan sutradara Alfonso Cuaron, tampil dengan sangat baik. Lang sukses menjadi seorang tuna netra dengan gestur-gesturnya yang meyakinkan namun juga mematikan. Dirinya menjadi the blind man yang menjadi mimpi buruk bagi setiap penyusup yang nekat.


Premis tanpa eksekusi yang baik jelas mengecewakan, namun Don’t breathe memiliki keduanya. Premis yang terbilang sederhana namun dieksekusi yang betul-betul solid dan matang membuat film ini menjadi film yang ‘tidak biasa’. Uniknya lagi, Alvares memainkan emosi dengan memberikan latar belakang kuat pada setiap karakternya, dimana hal tersebut mendukung dan memberikan motivasi kuat pada setiap aksi. Penonton pun dibuat bingung untuk memilih berada di sisi yang mana. Sisi para perampok amatir apa di sisi sang pria tuna netra?

Overall, Don’t Breathe menjadi kejutan luar biasa bagi pecinta film horror-thriller dan dianggap menjadi salah satu film terbaik di tahun 2016 ini, setelah di awal tahun kita sempat disuguhi film thriller lainya dari Dan Trachtenberg, 10 Cloverfield Lane dan juga horror disturbing dari Robert Eggers, The VVitch.
[MOVIE REVIEW] Don't Breathe (2016): You Can't Even Breath
00.18.00

[MOVIE REVIEW] Don't Breathe (2016): You Can't Even Breath

Jumat, 26 Agustus 2016


Setelah nonton episode terakhir dari season kedua UnREAL, dan juga episode finale season perdana dari Mr. Robot, saya yakin kalau dunia pertelevisian Amerika memang sedang berada di puncak, dari segi kualitas. Beberapa tahun ini, para pecinta film series dimanjakan dengan suguhan-suguhan apik yang memang niat dibuat dan tidak kalah dengan film panjang yang mana makin kesini makin general, tidak ada yang original dan juga lebih mengagungkan efek visual. Mungkin agak telat juga untuk mereview Mr. Robot karena sekarang sudah memasuki Season 2 bahkan hanya tersisa beberapa episode lagi, tapi untuk kalian yang baru mulai catch up atau penasaran, tulisan ini bisa menjadi salah satu referensi.

Dari judulnya, mungkin banyak yang mengira bahwa Mr.Robot merupakan series yang memuat cerita tentang Artificial Intelegent, bahkan di awal saya pun mengira seperti itu, namun ternyata perkiraan saya salah, sangat salah. Mr. Robot merupakan series yang menceritakan tentang seorang Elliot yang ketika siang menjadi teknisi IT di perusahaan cyber security, AllSafe, dan ketika malam menjadi seorang hacker Vigilante.


Elliot bermasalah dengan yang namanya interaksi sosial, namun dirinya punya cara tersendiri untuk mengenal orang-orang sekitarnya, termasuk sahabatnya Angela dan juga terapisnya, Krista. Tentu saja apalagi kalo bukan hacking data pribadi mereka termasuk email, rekening, dll.  Mungkin banyak yang setuju apabila cara Elliot merupakan cara yang tidak wajar dan menakutkan, namun ya itulah Elliot.

Sampai pada suatu waktu Elliot bertemu dengan pemimpin grup hacker FSociety bernama Mr. Robot yang berencana merekrutnya untuk melakukan aksi besar dan bersejarah: menjatuhkan korporasi-korporasi jahat dan korup dimulai dari Evil Corp, yang mana juga merupakan salah satu costumer dari perusahaan tempatnya bekerja.

Mr. Robot merupakan series yang menekankan gaya penceritaan yang kuat dan juga gaya visual yang apik. Mungkin sedikit mengingatkan pada gaya-gaya kelam dan gritty nya beberapa karya David Fincher. Namun sepertinya sang creator, Sam Esmail mengembangkan gaya Mr. Robot menjadi lebih dinamis dan bisa memberikan kesan mendalam terhadap penontonnya.



Dari segi cast, Elliot yang menjadi katalis utama, come out with a BANG di serial ini. Entah kenapa rasanya tak ada yang bisa menjadi Elliot selain Rami Malek. Menampilkan karakter yang penyendiri tapi kesepian juga seorang pecandu bisa dihadirkan dengan sangat apik oleh Rami Malek. Selain Elliot, Martin Wallstrom sebagai Tyrell Wellick juga merupakan tokoh yang cukup menarik di Mr. Robot. Wajahnya yang tipe-tipe manipulator juga bermain dengan sangat apik. Jangan lupakan karakter Mr. Robot yang diperankan oleh Christian Slater yang penuh dengan misteri yang kadang kita bertanya-tanya siapa sih dia?! Tyrell dan Mr. Robot merupakan tokoh-tokoh yang selalu punya andil terhadap plotnya.

Bagi saya yang tergila-gila dengan sinematografi unik dan nyeleneh, serial ini jadi salah satu favorit saya. Mr. Robot nampaknya memang tidak main-main dalam penggarapannya. Secara sinematografi baru Mr. Robot series yang menurut saya menabrak pakem-pakem mainstream dalam komposisi pengambilan gambar namun tetap tidak mengganggu, justru semakin membuat serial ini menarik. Seperti contoh: dalam conventional filmmaking, konversasi antar pemain biasanya memberikan kesan bahwa mereka saling berhadapan dengan adanya cut to cut antara pelaku konversasi dan memperlihatakan “leading room” dimana mereka memang sedang berbincang, namun tidak dengan Mr. Robot. Para karakter di Mr. Robot selalu ditampilkan dipaling bawah frame sehingga menyisakan banyak ruang kosong yang memperlihatkan setiap tokoh seolah-olah terisolasi, juga ketika sedang berbincang, selalu diperlihatkan seolah-olah para karakter berbicara sendiri.


Di masa kejayaan tivi kabel dan tivi internet, setidaknya referensi dan alternatif tontonan bagi saya yang memang pecinta serial, bertambah. Mr. Robot merupakan salah satu serial yang memang apik dan setiap episodenya selalu berkembang dengan baik. Season debutnya yang hype hingga menyabet Best Drama Series Critic’s Choice Awards 2016 dan Best Drama/Series Golden Globe Awards 2016  memperlihatkan bahwa serial ini memang layak ditonton bagi kalian pecinta serial televisi atau bagi kalian yang bosan dengan film-film panjang sekarang yang begitu-begitu aja ceritanya. Mr. Robot sudah memasuki season 2 dan hanya 3 atau 4 episode lagi tersisa. Tidak ada salahnya bagi kalian yang memang penasaran untuk segera catch up.


So, Welcome to FSociety, bitches!!!!
[SERIES REVIEW] Mr. Robot (2015): "Our Democracy Has Been Hacked"
15.31.00

[SERIES REVIEW] Mr. Robot (2015): "Our Democracy Has Been Hacked"

Kamis, 21 Juli 2016


Film horror merupakan salah satu genre film yang cukup banyak peminatnya. Kebanyakan penikmat film horror senang dengan adegan-adegan menegangkan yang bisa membuat deg-degan hingga berteriak-teriak. Namun banyaknya film horror dengan kengerian artificial terkadang tidak menempatkan film horror dalam artian sesungguhnya. Memang tidak ada salahnya menggoda hingga menakut-nakuti penonton dengan adegan-adegan yang membuat para penonton terkaget dan berteriak, namun ada dua hal yang juga wajib dilakukan oleh film horror: Haunting and disturbing. Yap, menghantui dan mengganggu adalah dua hal wajib yang harusnya dilakukan film horror. Bukan hanya ketika sedang menonton, namun juga setelah berpisah dengan film tersebut.

Sejak franchise Final Destination, menurut saya tidak ada lagi film horror yang dapat mengganggu sedemikian rupa di kehidupan nyata. Teringat bagaimana ketika paranoidnya saya melihat truk besar, ataupun hanya sekedar melihat tiang listrik. Ya, film horror harus mengganggu seperti itu. Namun, sepertinya film-film horror yang haunting and disturbing mulai terasa geliatnya. Sejak menonton It Follows (2015), terlihat bahwa film horror mancanegara mulai beralih ke arah yang baru. Tidak hanya mengandalkan jump scare, namun juga premis yang original dan unik, juga sinematografi yang sangat artistik, tidak lupa juga, unsur hunting and disturbingnya.


Begitupula yang saya rasakan dengan film The VVitch: A New England Folktale (dibaca The Witch) yang menjadi angin baru bagi genre horror luar. Berlatar di New England Colonial abad 16, karena dianggap menganut keyakinan yang berbeda dari yang ada, William (Ralph Ineson) diusir dari perkampungannya bersama istrinya Katherine (Katie Dickie), anaknya Thomasin (Anna Taylor-Joy), Caleb (Harvey Scrimshaw), dan si kembar Mercy (Ellie Graingner) dan Jonas (Lucas Dawson). Tanpa meninggalkan keyakinannya, keluarga ini pun mendirikan pondok dan ladang di lahan yang berada tepat bersebelahan dengan hutan. Anggota keluarga pun bertambah dengan hadirnya kelahiran putra kelima bernama Samuel. Suatu ketika Thomasin sang anak sulung bermain peek-a-boo bersama Samuel di tepi hutan, namun naas, ketika sang kakak membuka mata, sang adik telah menghilang. Menghilangnya Samuel menjadi awal keanehan yang semakin hari semakin mengganggu, mulai dari hasil pertanian mereka yang membusuk dan mengering, hingga mati nya ternak-ternak. Gangguan tersebut tidak lain dan tidak bukan ternyata berasal dari seorang penyihir yang tinggal di hutan.

Hanya satu kata yang menurut saya pantas untuk film ini ketika selesai menontonnya. Briliant! 93 menit durasi film berhasil dimanfaatkan oleh Robert Eggers dengan sangat baik. Untuk film debut, Eggers sungguh luar biasa. Tempo yang dibangun sangat konsisten tanpa ada ketimpangan jarak yang besar, sehingga penonton dapat menikmatinya dengan baik. Ketegangan yang dibangun selama film berlangsung pun tidak terlalu berlebihan, namun unsur disturbing tetap ditingkatkan dari menit ke menit sehingga membuat penonton selalu diliputi rasa ambigu dan penasaran terhadap apa yang sebenarnya terjadi.

Formula yang dimiliki The VVitch tidak datang dari adegan-adegan yang membuat jump scare, namun sajian The VVitch terasa sangat renyah bagi pencinta film horror. Penonton tidak selalu diajak berwaspada ria akan kemunculan karakter di adegan selanjutnya, namun film ini memberikan penontonnya sajian dengan konsep apa yang tak terlihat lebih mengerikan dari yang kamu lihat. Hal ini yang mengganggu penonton karena dengan tempo yang lambat, penonton dibuat tidak nyaman dengan sinematografi depression athmosphere-nya Jarin Blaschke dibalut dengan scoring yang juga sama mengganggunya gubahan Mark Korven. Selain itu shot-shot long take medium close up, low angle dan simetris, juga latar ladang yang terletak di tepi hutan membuat kesan mengerikan dan kesan klaustrofobik sukses dipertahankan dari awal hingga akhir film dengan sangat kental.


Sebenarnya yang menarik dari The VVitch adalah bagaimana Eggers mengangkat salah satu gagasan yang paling mendasar bagi setiap manusia, yaitu kepercayaan. Bagaimana suatu keluarga yang selalu taat terhadap Tuhan akhirnya paranoid, putus asa, menyesal, saling menuduh, hingga kekacauan batin yang akhirnya memecah belah keluarga ini.

Tentu cerita yang briliant tidak mungkin berhasil tanpa performa casts yang baik. Karakter-karakter tampil bermain dengan sangat apik. Kemampuan para casts dalam mengajak penonton ke dalam cerita sungguh sangat memikat. Sang Ayah yang diperankan oleh Ralph Ineson sungguh meyakinkan kita semua tentang tetap berpegang teguh kepada Tuhan, apapun yang terjadi. Namun karakternya juga memperlihatkan betapa bingungnya terhadap apa yang terjadi kepada keluarganya. Performa Ralph Ineson sangat luar biasa menurut saya. Semua ekspresinya terlihat sangat pas. Anya Taylor-Joy pemeran Thomasin sang anak sulung juga bermain sangat meyakinkan. Pembawaanya yang tenang namun penuh tanya ini membuat penonton menebak-nebak siapa dan bagaimana sebenarnya Thomasin ini. Karakter yang lain pun saling melengkapi dan terlihat tidak ada yang timpang. Karakter si kembar Mercy dan Jonas yang terlihat cukup mengganggu dengan kelakuannya juga keakrabannya dengan kambing hitamnya yang cukup creepy. Bisa dibilang semua casts bermain dengan sangat apik, hampir tanpa cela.


Overall The VVitch merupakan film horror klasik artistik dengan cerita yang briliant dan provoking juga didukung performa casts yang apik. Tidak hanya menaikan ketegangan, namun film ini akan meninggalkan kesan disturbing kepada penontonnya dengan cara yang indah dan memikat. Bagi yang menggemari horror jump scare, mungkin The VVitch bukan film yang tepat, namun tidak ada salahnya menonton film horror dengan rasa seni yang tinggi sekali-sekali. 


[MOVIE REVIEW] The VVitch (2016): "Wouldst thou like to live deliciously?"
21.36.00

[MOVIE REVIEW] The VVitch (2016): "Wouldst thou like to live deliciously?"

Selasa, 07 Juni 2016



Awal Bulan Juni 2016 para penggemar film disapa oleh hadirnya empat kura-kura mutan dalam Teenage Mutant Ninja Turtles: Out Of Shadows. Film ini merupakan sekuel dari film pertamanya Teenage Mutant Ninja Turtles yang rilis dua tahun lalu. Meskipun masih diproduseri oleh Michael Bay, Film TMNT 2 kali ini digarap oleh sutradara berkebangsaan Amerika yang lebih sering menyutradarai music video, Dave Green.

Masih mengisahkan keempat kura-kura mutan Leonardo, Donatello, Michelangelo, dan Raphael yang memburu musuh bebuyutan mereka, Shredder (Brian Tee) yang baru saja kabur ketika akan dipindahkan ke penjara lain. Tentu saja usaha mereka tidak semudah yang diharapkan karena kali ini Shredder dibantu oleh seorang ilmuan Dr Baxter Stockman (Tyler Perry) dan dua anak buah yang juga mutan, Bebop (Gary Anthony Williams) dan Rocksteady (Stephen Farrelly). Kali ini keempat kura-kura, selain dibantu oleh April, juga dibantu oleh seorang mantan anggota NYPD, Casey Jones (Stephen Amell).

Setelah kegagalan film pertamanya yang lebih banyak mengisahkan si pemilik kura-kura, April O’Neil (Megan Fox), kali ini porsi empat kaka beradik kura-kura ini lebih banyak termasuk penguatan karakter pada masing-masing tokoh (Leonardo yang lebih wise karena merupakan leader, Donatello si pintar dan IT geek, Raphael si kuat terlihat dari fisiknya yang lebih berotot, dan Michelangelo si lucu) yang membuat film ini ya film kura-kura ninja seperti kartunnya yang dulu biasa kita tonton.


Film kedua ini banyak memusatkan pada karakter empat kura-kura ninja yang mana di film ini ditampilkan lebih bagus secara fisik. Kualitas CGI yang digunakan semakin luar biasa bagus, untuk keempat tokoh kura-kura ninja yang memang full CGI juga untuk dua mutan lainnya Bebop dan Rocksteady. Plus 3D yang kualitasnya memang cukup baik namun sepertinya film ini tidak begitu membutuhkannya karena kebanyakan adegan diambil pada malam hari membuat efek 3D tidak bisa dinikmati dengan maksimal, malah membuat kurang nyaman.

Kelemahan di film ini terlihat pada cerita yang terasa tidak sefresh film pertama. Kehadiran Amell sebagai Casey Jones juga terlihat hanya seperti cameo yang tidak terlalu dibutuhkan. Plot yang mudah ditebak dan juga tidak terlalu banyak adegan mengejutkan seperti di film pertama. Jokes yang juga kebanyakan garing adalah yang paling terasa karena di film pertama saya rasanya bisa tertawa lepas tapi di film ini not so much dan ada perasaan awkward begitu keluar dari bioskop.


But ya, overall, film ini cukup menghibur dan cocok dinikmati bersama adik atau ponakan kalian.

[MOVIE REVIEW] Teenage Mutant Ninja Turtles: Out Of The Shadows (2016): Not As Good As It Should Be
14.14.00

[MOVIE REVIEW] Teenage Mutant Ninja Turtles: Out Of The Shadows (2016): Not As Good As It Should Be

Jumat, 27 Mei 2016


Memutuskan nonton film My Stupid Boss karena masih banyak seat yang available dengan posisi yang enak. Yap, dari awal sebenarnya tidak berniat untuk menonton film My Stupid Boss karena saya tidak pernah tahu menahu buku yang menjadi adaptasi film ini dan poster film yang sangat ‘gak banget’ bagi saya. Namun, siapa sangka ternyata di luar ekspektasi saya, film ini cukup menarik dan menghibur.

Menetap di suatu negara lebih lama dari pada biasanya, kali ini Malaysia, seorang wanita asal Indonesia, Diana (Bunga Citra Lestari) memutuskan untuk mengisi waktu luangnya dengan bekerja. Namun, tidak seperti sang suami, Dika (Alex Abbad) yang bisa bekerja dari rumahnya, Diana memilih untuk kerja kantoran. Diana pun melakukan interview di sebuah perusahaan yang mana boss dari perusahaan tersebut merupakan orang Indonesia yang juga sahabat lama dari sang suami, dan merupakan boss yang menjengkelkan.

Diana pun harus dihadapkan dengan segala persolanan yang bukan berasal dari pekerjaanya, namun dari sang boss yang absurd. Selain menjadi boss yang kikir dan ngeselin, Bossman (Reza Rahadian) sapaan akrab si boss memiliki prinsip Bossman always right. Juga motto unik impossible we do, miracle we try yang memperlihatkan bahwa si boss tidak mau rugi. Selain itu banyak lagi kelakuan Bossman yang tidak hanya membuat para karyawannya kesel tapi juga para penonton diajak menyaksikan bagaimana anehnya kelakuan si boss.


Sebagai film komedi, My Stupid Boss meamang menghibur dan bisa membuat anda terpingkal-pingkal, terutama karena dialog antar pemain yang menurut saya sangat menarik. Reza Rahadian, ah, sulit sih memang awalnya membayangkan Reza Rahadian akan berakting konyol, namun ternyata, luar biasa memang akting Reza Rahadian sangat memukau sebagai boss yang menjengkelkan. Benar-benar masuk dalam karakter si bossman yang aneh bin ajaib. Bunga Citra Lestari sebagai tokoh sentral pun berakting cukup baik walaupun kadang seperti terlalu memaksakan akting karyawan-benci-boss nya yang terlalu over. Alex Abbad bermain cukup impressive. Entah kenapa saya sih selalu suka jika Alex Abbad berakting. He’s really good actor. Saya sih malah sangat terkejut dengan akting para karyawan yang lebih pop-up dibanding aktor-aktor utama. Bront Palarae sebagai Adrian, Atikah Suhaime sebagai Norahsikin, Iskandar Zulkarnain berperan sebagai Azhari, dan Chew Kinwah sebagai Mr. Kho. Tanpa mereka, film ini sepertinya tidak akan semenarik ini. Empat aktor ini membuat cerita lebih lucu lengkap dengan karakter yang dibangun sangat kuat dari awal film dimulai. Awesome!


Saya acungi jempol untuk departemen teknis. Film ini berani keluar dari warna-warna film Indonesia. Dari awal film mulai, My Stupid Boss seperti mengingatkan saya dengan film Spike Jonze, Her. Warna merah menjadi warna yang dominan dan terlihat sangat kontras dengan warna lainnya. Namun memang terlihat tone warna yang digunakan sangat menarik dan juga eye-catchy, juga sinematografi yang asik dengan simetrikal dan close-up shots ala-ala Wes Anderson.

Meski film ini cukup menghibur sebagai film komedi, namun sepertinya Upi Avianto sebagai sutradara juga penulis naskah tidak begitu berhasil dalam membangun jalan cerita yang kokoh dan solid. Ceritanya agak mengecewakan dan terkesan jalan di tempat, namun harus buru-buru diakhiri. Sepanjang film kita diajak tertawa namun tiba-tiba film selesai. Ending film yang terasa seperti tidak menyatu dengan film dan terlalu dipaksakan pun terasa sangat mengecewakan bagi saya. Terasa klise dan ‘apa banget’. Sayang memang bagi film yang di awal terasa memiliki potensi besar. Namun walaupun ada beberapa catatan untuk film ini, jika ditonton, film ini oke kok.


[MOVIE REVIEW] My Stupid Boss (2016): Potential, But...
11.33.00

[MOVIE REVIEW] My Stupid Boss (2016): Potential, But...

Minggu, 22 Mei 2016


Wes Anderson merupakan salah satu sutradara modern yang memiliki ciri khas di setiap film garapannya. Quirky style nya sanggup membuat film-film nya membekas di hati para penontonnya. Sebut saja Rushmore (1998), The Royal Tanenbaums (2001), dan yang paling baru adalah The Grand Budapest Hotel (2014). Kesemua film nya mempunyai hal yang unik dan berbeda dari film-film lainnya, dari segi cerita dan penggarapannya. Selalu menampilkan pola-pola unik. Begitu pula dengan Moonrise Kingdom. Ditayangkan sebagai pembuka di Cannes Film Festival 2012, film ini mendapatkan apresiasi hangat dari para audiens. Tanggapan terhadap Moonrise Kingdom pun bisa dibilang sangat positif sehingga membuat saya juga penasaran untuk menonton film ini.

Suatu pagi dihebohkan dengan hilangnya seorang anggota pramuka dari perkemahan ”Khaki Scout” bernama Sam (Jared Gilman), seorang anak laki-laki berumur 12 tahun dan tidak popular. Kehebohan bertambah ketika Suzy (Kara Hayward) putri dari Walt (Bill Murray) dan Laura Bishop (Frances McDormand) juga dinyatakan hilang. Sang pembina pramuka Scout Master Ward (Edward Norton) pun mulai mencari Sam dengan bantuan dari Captain Sharp (Bruce Willis) yang juga mencari kemana hilangnya Suzy. Siapa sangka jika Sam dan Suzy sudah merencanakan ‘pelarian’ mereka dari jauh-jauh hari setelah pertemuan pertama mereka dimana mereka merasakan saling jatuh cinta. Maka dari sini dimulailah petualangan aneh yang penuh cinta ini.


Unik dan menarik. Yap, sedari awal anda akan dibawa kepada hal-hal unik ala Anderson. Menyenangkan dari awal, terlihat dari warna-warna yang tajam dan playful. Impresi yang saya dapatkan dari awal sungguh luar biasa. Bikin saya tidak bisa beranjak dari layar untuk terus mengikuti negeri dongengnya Anderson. Bukan hanya itu, ternyata cerita yang dibangun pun sangat kuat. Dengan tempo yang tidak lambat namun penonton tidak merasa diseret dengan tempo yang cepat, bahkan berhasil membawa kita masuk ke petualangan absurd Sam dan Suzy, juga Scout Master Ward, Captain Sharp dan Mr & Mrs Bishop. Setiap scene juga dieksekusi Anderson dengan sangat baik dan apik.

Secara premis mungkin film ini sangat klise tentang cinta dua anak yang baru akan beranjak remaja. Namun jika digarap oleh Anderson, sepertinya film ini bukan lagi film yang biasa. Ditulis oleh Anderson dan juga Roman Coppola, cerita Sam dan Suzy ini juga dibumbui dengan sedikit konflik-konflik kecil tepatnya yang terjadi di keluarga Suzy, juga masalah cinta. Tak lupa diselipkannya komedi-komedi awkward yang membuat film ini semakin quirky.


Sebagai karakter utama, performa Jared Gilman dan Kara Hayward berhasil dalam membawa petualangan Moonrise Kingdom dari awal hingga akhir dengan sangat manis. Chemistry diantara dua anak ini terbangun dengan baik dan dapat meyakinkan kita bahwa mereka sepertinya benar-benar saling jatuh cinta. Selain Jared dan Kara, karakter pendukung lain pun benar-benar tampil dengan apik. Bill Murray yang langganan main di film-film Anderson pun selalu masuk dalam karakter yang dimainkan.

Jalan cerita yang unik juga harus dibarengi dengan sinematografi apik. Robert Yeoman lah yang ada dibalik sinematografi apik dari semua film-film Wes Anderson. Selalu konsisten dengan pola simetris dan selalu menempatkan objek tepat di tengah. Selain itu dalam pencahayaan, Anderson dan Yeoman sepertinya lebih prefer untuk mengambil gambar di luar ruangan untuk mendapatkan cahaya alami. Penggunaan warna pada film-film nya pun selalu unik. Anderson dan Yeoman banyak menggunakan warna-warna pastel dan warna alami. Penggunaan yellow tint dalam Moonrise Kingdom pun terlihat seperti menggambarkan musim gugur yang hangat. Selain itu, score yang pas dihadirkan oleh Alexander Despalt dan Edward Benjamin Britten dan membuat Moonrise Kingdom menunjukan keindahannya dari awal.



Secara keseluruhan, Moonrise Kingdom merupakan film yang sangat memuaskan. Dengan tema utama cinta yang mungkin bagi sebagian orang menyebutnya cinta monyet, kisah yang sering dianggap remeh, justru memberikan pelajaran yang ‘menohok’ melalui penyampaian yang luar biasa dari Wes Anderson beserta jajaran pemainnya.


[Movie Review] Moonrise Kingdom (2012): A Quirky Love Story
22.30.00

[Movie Review] Moonrise Kingdom (2012): A Quirky Love Story

Jumat, 20 Mei 2016


Di awal tahun 2002, publik sempat dikejutkan dengan headline sebuah koran di Amerika, The Boston Globe, dimana memuat tulisan berjudul “Church allowed abuse by priest for years”. Tentu saja headline tersebut membuat heboh seantero Amerika dan dunia hingga karya investigasi tersebut dianugrahi Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi bagi karya jurnalistik dan literatur. Topik ini menjadi topik yang paling diperbincangkan saat itu, selain kejadian 9/11.  

Kasus yang menghebohkan ini yang menjadi materi dalam film Spotlight arahan sutradara Tom McCarthy dengan skrip yang ditulis juga olehnya bersama Josh Singer. Spotlight menceritakan kisah sekelompok jurnalis investigasi yang tergabung dalam rubrik Spotlight dalam membongkar pelecehan seksual di lingkungan gereja Katolik di Kota Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.


Tim Spotlight yang beranggotakan Walter Robby (Michael Keaton) sebagai editor, Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Matt Carol (Brian d’Arcy James), serta Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams) yang masing-masing bertugas sebagai jurnalis. Dipimpin oleh kepala redaksi Marty Baron (Liev Schreiber) berupaya menggali lebih dalam kasus yang diawali oleh pelecehan seksual yang dilakukan oleh pendeta bernama John Geoghan. Yang menjadikan kasus ini menarik adalah ternyata otoritas gereja terkesan memperbolehkan hal ini terjadi di lingkungan gereja, dan juga pihak berwajib menutup-nutupi hal ini secara sistematis, tanpa adanya proses penyelesaian secara hukum.

Isu ini tentu saja sangat sensitif dan kontroversial, sehingga banyak tantangan yang dihadapi tim Spotlight dalam mencari bukti-bukti tentang kasus ini. Tak semua narasumber mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, walaupun hal tersebut merupakan sebuah bentuk kriminalitas. Penyeledikan pun terus dilakukan hingga diarahkan ke berbagai sudut pandang. Mulai dari sudut pandang hukum, sdari sudut pandan pelaku, hingga korban. Kasus yang mencuat sungguh mencengangkan dan diistilahkan seperti fenomena gunung es.

Memang tidak banyak gimmick ataupun element yang WOW secara teknis di film ini, namun keunggulan film ini hingga memenangkan best picture di Academy Awards 2016 karena kekuatan cerita yang sangat luar biasa. Angka yang sangat mencengangkan dalam kasus ini dipaparkan secara eksplisit. Yang lebih horror, ternyata hal ini tidak hanya terjadi di Boston, namun kasus yang sama mulai terkuak di beberapa negara bagian Amerika yang lain.


Spotlight membahas isu yang sangat sensitif dari beberapa aspek. Bukan hanya menyoroti kasus pelecehan seksual oleh lembaga agama tertua di dunia ini, namun juga menyoroti adanya ketidakterbukaan pihak berwajib, isu tekanan sosial dan moral, krisis kepercayaan terhadap agama, dan juga menyinggung bisnis media massa. Dan semuanya dipaparkan secara pas tanpa mengganggu cerita inti yaitu pembongkaran sebuah skandal besar.

Film ini sangat menguras emosi, apalagi banyak scene yang heartbreaking. Diantaranya ketika Sacha mewawancarai seorang pendeta yang menjadi tersangka. Sang pendeta mengaku dirinya melakukan, dan yang lebih mencengankan dirinya pun mengaku bahwa dulunya dirinya menjadi korban. Sungguh sangat memilukan, apalagi setelah itu Sacha melihat sekumpulan anak-anak yang sedang bersepeda dengan riangnya.  


Yang juga menjadi pembelajaran dalam film ini adalah film dituturkan dengan gaya jurnalis memaparkan sesuatu. Fokus pada tujuan pembongkaran kasus dalam institusi, tanpa mempertanyakan keyakinan para tersangka dan menyerangnya. Plot berjalan sesuai dengan bagaimana para jurnalis ini bekerja tanpa banyak bumbu-bumbu lain dari kehidupan setiap jurnalis. Tidak ada drama yang tidak perlu, fokus  pada kasus dan berhasil memukau di akhir.

Spotlight menjadi salah satu film yang memperlihatkan dimana jurnalis menjadi fungsi yang sebenarnya. Memberitakan kebenaran, menjadi media untuk para orang tertindas. Sungguh film yang sangat menginspirasi, terutama bagi banyak media massa yang tidak jarang bimbang dan dilema ketika harus memberitakan sebuah kebenaran namun banyaknya tekanan dari sana-sini yang membuat media tidak lagi idealis, tidak lagi independen hanya demi kepentingan beberapa pihak.

[MOVIE REVIEW] Spotlight (2015): Attracted Without Gimmick
22.47.00

[MOVIE REVIEW] Spotlight (2015): Attracted Without Gimmick


Menjadi salah satu nominasi film terbaik Oscar 2016 kemarin, Brooklyn memang tidak sekuat pesaing-pesaingnya. Bukan berarti film arahan John Crowley ini jelek, tentu saja tidak, namun film-film seperti The Revenant dengan cerita survival nya, Spotlight dengan kejurnalistikannya, Room, Bridge of Spies, The Big Short, The Martian, juga Mad Max: Fury Road terlihat lebih lebih kuat untuk menyabet patung Oscar, dan kita pun tahu gelar film terbaik akhirnya diberikan kepada Spotlight yang disajikan dengan sangat brilian.

Brooklyn berkisah tentang seorang Eilis Lacey (Saoirse Ronan) seorang gadis dari kota kecil di Irlandia yang mengadu nasib di New York, Amerika Serikat. Tinggal di rumah kost yang hangat, bekerja di department store yang bagus, juga didaftarkan untuk melanjutkan kuliah bukan berarti membuat Eilis tidak dirundung masalah seorang anak rantau. Dirinya terkena homesick yang lumayan parah, hingga suatu hari dirinya bertemu dengan seorang pria keturunan Italia yang menawan dan sopan bernama Anthony Fiorello (Emory Cohen) yang membawa efek lumayan dahsyat kepada Eilis. Namun, Eilis mengalami gejolak ketika ada sesuatu yang mengharuskan dirinya pulang ke Irlandia. Di sini lah Eilis harus memilih antara rumah baru atau rumah lama dimana dirinya juga akan bertemu pria kaya dan menawan lain bernama Jim Farrell (Domnhall Gleeson).


Premis film ini memang terlihat sangat sederhana, namun ternyata ada sesuatu di dalam film ini yang tidak bisa diabaikan. Film ini tidak memuat konflik yang jungkir balik, terkesan sangat tenang dan mengalir apa adanya namun disitulah keindahannya. Brooklyn merupakan kisah cinta yang baru saja tumbuh dan akan mekar, namun harus dipisahkan jarak antara Irlandia-Amerika dan mengenal konflik yang dinamakan rindu.

Brooklyn layaknya es krim vanilla-stroberi. Manis dan juga ada rasa masam, namun tidak berlebihan. Kadarnya masih bisa ditolerir lidah. Rasa masam dan manis yang nyaman. Brooklyn sanggup membuat saya mesem-mesem karena manisnya, dan sanggup juga membuat saya menetesekan air mata karena masamnya. Masalah yang dihadapi Eilis di Brooklyn ada pada kadar yang pas. John Crowley sanggup untuk menyajikan Brooklyn menjadi drama epic yang membekas di hati saya. Beberapa scene juga memuat jokes yang pas tanpa terkesan canggung.


Menyaksikan Saoirse Ronan bermain di film ini sungguh membuah saya bangga. Saya termasuk yang mengikuti film-film nya. Ronan selalu masuk dalam karakter yang dia perankan. Tidak terkecuali ketika berperan sebagai Eilis. Saya tidak pernah membayangkan jika film ini akan dimainkan oleh aktris lain karena Ronan sangat sangat pas untuk menjadi Eilis. She always be my favorite girl. Karakter utama pria pun dimainkan sangat apik oleh Emory Cohen. Menjadi pria keturunan Italia yang decent dan pekerja keras. I want one like him, kalau ada. Haha… Pun Domnhall Gleeson dan juga sederet aktor lain bermain sangat baik tanpa ada ketimpangan yang terlihat jelas. Ikatan emosi setiap pemain pun terjalin dengan sempurna.


Acungan jempol patut saya berikan kepada departemen teknis. Sinematografi yang apik dapat memanjakan mata anda. Kentalnya aksen irish dan Italia, juga kostum-kostum vintage khas 50’an bersliweran. Anda akan dimanjakan warna-warna pastel yang lembut ketika menonton film ini dan membuat film ini sangat otentik.

Secara keseluruhan, Eilis diharuskan memilih ‘rumahnya’. Memilih antara siapa yang patuh dicintainya dan siapa yang patut mendapatkan cintanya. Brooklyn merupakan sebuah kisah cinta sederhana yang terasa sangat istimewa.



[MOVIE REVIEW] Brooklyn (2015): Home Is Home
17.33.00

[MOVIE REVIEW] Brooklyn (2015): Home Is Home

Rabu, 18 Mei 2016


Sukses bikin saya buru-buru mengklik thumbnail trailer film dengan judul Midnight Special ini di youtube, saya benar-benar tidak sabar untuk menontonnya dengan segera. Alasan saya penasaran dengan film ini adalah, karena di awal saya menonton trailernya, film ini mengingatkan saya pada video klip musisi M83 berjudul Midnight City, di mana dalam video klip tersebut terlihat anak-anak dengan mata yang memancarkan cahaya. Persis seperti film ini. Apa film ini terilhami dari video klip Midnight City? Entahlah. Yang jeals film ini sangat menarik perhatian saya.

Film ini dibuka dengan telah diculiknya seorang anak dari sebuah pedesaan atau lebih tepatnya sebuah sekte keagamaan dan menganggap bahwa si anak ini berbahaya hingga harus segera ditemukan. Berita tentang hilangnya si anak yang bernama Alton (Jaeden Lieberher) menjadi menyebar bahkan FBI pun mencari keberadaan Alton yang ternyata ‘diculik’ oleh sang ayah Roy (Michael Shannon), dibantu sahabat masa kecilnya Lucas (Joel Edgerton). Tidak lama ibu dari sang anak, Sarah (Kristen Dunst) ikut bergabung. Anton ‘dilarikan’ karena  suatu hal yang menyangkut si anak yang harus berada di suatu tempat pada hari yang telah ditentukan, namun mereka harus tetap aman dari kejaran FBI dan juga sekte yang mencari Alton. Selain itu, ada sesuatu antara Alton dan sinar matahari. 



Apa yang special dari film Midnight Special? Film ini merupakan film sci-fi yang lebih mempertahankan ide cerita dan menyampaikannya dengan mengedepankan sisi misteri untuk dikunyah para penontonnya. Di sepanjang perjalanan bersama Alton, Roy dan Lucas, kita akan terus bertanya-tanya, sebenernya ada apa sih? Dan siapa sebenarnya Alton? Jeff Nichols sang sutradara berhasil untuk mempertahankan misteri ini secara memikat. Penonton sedari awal sudah dihadapkan dengan problem yang membuat penasaran dengan perlahan tapi pasti rasa heran yang kuat pun terjaga hingga akhir film. Sungguh formula yang jenius untuk sebuah film sci-fi.

Film ini juga sangat kuat menceritakan bagaimana sang ayah sangat ingin melindungi putranya hingga ‘misi’ nya selesai. Tokoh Lucas juga sungguh menarik, dimana diceritakan bahwa dirinya tidak percaya bahwa Alton beda dari anak-anak lain namun dirinya tetap berusaha semaksimal mungkin melindungi Alton. Di sisi lain, penonton pun digiring pada tokoh Paul Savier yang diperankan oleh Adam Driver sebagai penyidik NSA yang pada akhirnya akan mengungkap kebenaran tentang Alton. Dengan kecanggunganya, dirinya hanya bisa tercengang dengan apa yang mampu dilakukan Alton.


Sejatinya film ini merupakan film tentang bagaimana orang tua melindungi anaknya yang sedang dalam bahaya. Emosi yang diperlihatkan dalam film ini sangat memikat, dimana semua bermain dengan sangat apik. Selain itu, film ini menceritakan bagaimana seorang anak dapat memicu ancaman yang bisa berakibat fatal apabila tidak segera ditangani. Apa kelemahan film ini? Mungkin karena film ini sangat terasa segmented. Tidak semua orang bisa menikmatinya dengan baik. Sebagian mungkin akan terasa bahwa film ini membosankan. Film ini bisa sangat memikat atau malah bisa membuat seseorang frustrasi.

Midnight Special mengajari kita untuk bagaimana tumbuh menjadi orang tua disaat harus merelakan sang anak tanpa pengawasan orang tua pada akhirnya. Jeff Nichols berhasil membuat drama keluarga berbalut sci-fi yang padat dan berani. Diawali dengan drama penculikan, tumbuh menjadi misteri di sepanjang film, hingga rasa heran pun terus terjaga dan diakhiri dengan cukup memilukan membuat film ini sangat layak untuk ditonton bagi kalian yang menggemari film sci-fi dengan penyampaian yang unik.



[MOVIE REVIEW] Midnight Special (2016): Real Strange And Addictive
00.38.00

[MOVIE REVIEW] Midnight Special (2016): Real Strange And Addictive

Selasa, 17 Mei 2016



Setelah sukses dengan film sebelumnya, The Purge pada tahun 2013, James DeMonaco kembali menghadirkan ritual penyucian diri tahunan dalam The Purge: Anarchy. Masih dengan premis yang kontroversial dan nyeleneh, sekuel The Purge ini kembali meraup kesuksesan yang dalam segi finansial. Film ini dianggap sedikit lebih baik dibanding pendahulunya, meskipun masih banyak para penonton yang menginginkan James DeMonaco lebih mengeksplorasi ide brilian ini dengan lebih baik.

Jika di film sebelumnya cerita lebih menitikberatkan kepada sebuah keluarga yang tiba-tiba menjadi sasaran penyucian diri, kali ini alurnya cukup berbeda. Tidak lagi berkutat di dalam rumah, namun kali ini penonton diajak untuk menyaksikan seperti apa jalanan di Amerika ketika annual purge. Brutal!

Tiga plot berbeda ditampilkan dalam cerita sebelum akhirnya mereka bersama-sama melewati malam yang bagai neraka itu. Leo Barnes (Frank Grillo) berniat untuk ikut dalam annual purge untuk membalaskan dendam. Dirinya mempersenjatai diri dengan sangat lengkap. Eva (Carmen Ejogo), bersama putrinya Cali (Zoe Jiwa), dan juga pasangan suami istri Shane (Zach Gilford) dan Liz (Kiele Sanchez) terpaksa harus berada di jalanan dan bermain petak umpet dan berharap tidak menjadi korban dalam annual purge.


Lebih baik dari film pendahulunya? Harus dikatakan iya. Namun masih seperti di film pertama, DeMonaco seperti bingung harus menggarapnya seperti apa. Padahal dengan ide brilian seperti ini, saya dan juga penonton lain pastinya menginginkan sesuatu yang WOW. Film ini lebih baik karena berpindah dari sekedar home invasion ke jalanan Los Angeles dengan kendaraaan-kendaraan yang dipersenjatai dan topeng-topeng mengerikan. Dalam film ini pun diceritakan bahwa adanya sekelompok orang yang tidak setuju dengan diadakannya annual purge karena dianggap tidak memihak kepada rakyat kecil. Namun hal ini kembali menguap tidak diceritakan lebih jauh lagi akan seperti apa gerakan anti-pugre ini.

Kembali saya acungkan jempol kepada departemen kostum. The Purge: Anarchy terlihat mengerikan karena para ‘peserta’ annual purge mengenakan kostum-kostum dan topeng-topeng yang creepy. Saya yakin topeng-topeng yang ada di film ini laku di pasaran untuk perayaan Halloween karena memang sangat menyeramkan. Lengkap dengan baseball bat dan skateboard seseorang yang menggunakan topeng-topeng ini bisa bikin saya ngeri.

Lagi, dengan premis yang original, film ini tidak cukup membangun cerita yang seharusnya lebih baik dan lebih menegangkan. Walaupun cukup memorable dengan ‘stay safe’ dan topeng-topeng menakutkannya, tetap film ini butuh sesuatu dari sekedar film survival biasa. Film lanjutannya dijadwalkan hadir pada Juli 2016 dengan judul The Purge: Election Year. Saya tetap berharap film lanjutannya akan jauh, jauh lebih baik, karena film ini jadi salah satu film action-horror favorit saya hanya karena premisnya yang original. Semoga harapan saya bisa terpuaskan di film selanjutnya.

[MOVIE REVIEW] The Purge: Anarchy (2014): Again, 12 Hours of Hell.
22.23.00

[MOVIE REVIEW] The Purge: Anarchy (2014): Again, 12 Hours of Hell.



Diluar review jelek tentang film ini, saya sih cukup menikmatinya karena ide film ini brilian. The Purge merupakan film action-horror yang ditulis dan disutradarai oleh James DeMonaco. Film ini dianggap sukses dipasaran untuk sebuah film yang low budget. Mendulang hampir 30 kali lipat dari biaya pembuatannya dan menjadi hits di awal tahun 2013 karena premisnya yang dianggap nyeleneh.

Siapa sangka di tahun 2022 Amerika Serikat akan menjadi negara yang lahir kembali dan mempunya New Founding Fathers. Untuk menjaga angka pengangguran juga kriminalitas tetap rendah, pemerintah memberlakukan 12 jam annualThe Purge” atau pembersihan, atau dalam hal ini penyucian atau penebusan dosa. Dalam 12 jam (mulai jam 7 malam hingga 7 pagi) tersebut semua tindakan kriminalitas  (pembunuhan, perampokan, pemerkosaan) dilegalkan baik bersenjata ataupun tidak walaupun penggunaan senjata tingkat 4 (bom, roket, misil) dilarang. Saat pelaksanaan The Purge semua social services seperti polisi dan ambulan, dan pemadam kebakaran dalam status tidak aktif dan para korban The Purge akan ‘diurus’ keesokan harinya. Saat pelaksaannya siapapun dilarang menyerang pejabat pemerintah dalam level 10. Mereka harus tetap tanpa luka apapun alasannya. The Purge hanya berlaku bagi setiap warga sipil Amerika Serikat untuk melampiaskan hasrat ‘kebinatangannya’ setelah 1 tahun tidak boleh melakukan tindakan kriminalitas. Gila kan!


James Sandin (Ethan Hawke) merupakan seorang developer untuk security home bagi orang-orang kaya di kawasan perumahan elit. Sistem tersebut diklaim mampu bertahan dan sangat aman terutama pada saat annual “The Purge”. James Sandin dan istrinya, Mary Sandin (Lena Headey) bersama kedua anak mereka Zoey (Adelaide Kane) dan Charlie (Max Burkholder) dianggap keluarga yang diuntungkan dari diadakannya annual The Purge ini. James selalu menganggap security home yang terpasang di setiap sudut rumahnya itu sangat aman sehingga tidak akan ada siapapun yang menerobos masuk, hingga pada suatu saat sang putra, Charlie melakukan sebuah tindakan yang membahayakan seluruh anggota keluarga.

Meskipun premis yang dimiliki film ini sangat unik dan tergolong original, namun sepertinya sang sutradara kebingungan untuk mengeksekusi ide-ide brilian tersebut kesebuah cerita horror yang dialami sebuah keluarga. Film ini tidak digarap secara maksimal.


Untuk sebuah kritik, film ini sangat sarat akan kritik terhadap pemerintahan New America dimana di film ini terlihat bahwa The Purge merupakan ajang pelampiasan emosi atau sebuah katarsis dari rakyat Amerika, dan hal ini dianggap sebagai bentuk patriotisme dimana Amerika bisa menjaga angka pengangguran dan kriminalitas tetap rendah, dengan ‘saling membunuh’. Selain itu, ketimpangan antara si kaya dan si miskin dapat terlihat di film ini. Dimana si kaya dapat membentengi rumahnya dengan home security yang diklaim tidak dapat dibobol, dan si miskin yang tidak mampu membentengi rumahnya pasrah saja dengan nasibnya dan berharap dirinya tidak menjadi sasaran di The Purge. Hal tersebut tentu saja merupakan jalan termudah untuk memberantas kemiskinan, bukan? Dalam hai ini James DeMonaco tidak mengeksplorasi penyucian diri ini dengan maksimal, sehingga film ini terkesan hanya film pembunuhan biasa.

Ketegangan di film ini terasa antiklimaks, tidak begitu intens. Mungkin karena setting film ini hanya di dalam rumah, unsur kebrutalan di film ini tidak begitu terasa. Karakter para pemain pun terasa hambar. Tidak ada yang benar-benar membuat saya jerit-jerit ataupun loncat-loncat ketika menontonnya karena tegang. Hanya kaget, itu pun sesaat saja. Yang membuat film ini creepy justru topeng-topeng dan kostum-kostum yang digunakan oleh orang-orang yang melakukan ritual penyucian. Secara keseluruhan film ini sayangnya tidak begitu istimewa, namun cukup menghibur untuk tontonan di kala senggang.


[MOVIE REVIEW] The Purge (2013): One Night A Year, All Crime Is Legal
20.36.00

[MOVIE REVIEW] The Purge (2013): One Night A Year, All Crime Is Legal

“Since the dawn of recorded history, something like 110 billion human beings have been born into this world.  And not a single one of them made it.  There are 6.8 billion people on the planet.  Roughly 60 million of them die every year. 60 million people.  That comes out to about 160,000 per day.  I read this quote once when I was a kid, “We live alone, we die alone.  Everything else is just an illusion. ”  It used to keep me up at night.  We all die alone.  So, why am I supposed to spend my life working, sweating, struggling? For an illusion?  Because no amount of friends, no girl, no assignments about conjugating the pluperfect or determining the square root of the hypotenuse is gonna help me avoid my fate.  I have better things to do with my time.”
Merupakan monolog pembuka yang menjadi titik awal dalam film ini dimana sang tokoh utama, George Zinavoy (Freddie Highmore) seorang remaja tahun terakhir SMA yang biasa saja namun memiliki bakat seni ini merasa bahwa memang hidup ini ya cuma numpang lewat, sehingga dirinya tidak mau repot-repot melakukan sesuatu dan berusaha setidaknya mengerjakan PR karena menurutnya itu semua merupakan pekerjaan yang sia-sia.

George selalu bersikap acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya dan dianggap aneh oleh teman-temannya. Hingga suatu hari George tidak sengaja bertemu dengan Sally Howe (Emma Roberts) teman seangkatannya dan perkenalannya itu membuat George menjadi sedikit lebih peduli dan juga membuka diri terhadap orang lain, terutama Sally.


Plot film ini sebenarnya sekilas mirip dengan drama percintaan remaja lainnya, namun yang menjadi daya tarik film ini adalah hubungan antara George dan Sally yang sebenarnya bukan inti cerita dari film ini. Gavin Wiesen sebagai sutradara menyampaikan secara tersirat bahwa film ini menceritakan remaja yang sedang mencari jati diri, khususnya dalam hal ini George Zinavoy. Dimana kehidupan George memang rumit. Bermasalah dengan sekolah karena perilakunya yang acuh tidak acuh, permasalahan dengan ayah tirinya, hingga kehadiran Dustin (Michael Angarano) yang harusnya datang sebagai pembimbing George dalam bakatnya, namun berakhir menjadi ‘perusak’ hubungan dirinya dengan Sally.

Film ini memang tidak begitu sempurna, namun cukup untuk membuat saya menontonnya berulang kali ketika senggang. Tokoh George menjadi favorit saya karena kadang terlihat menjengkelkan namun juga lovable.  Freddie Highmore memerankan tokoh George dengan sangat apik. Saya memang tidak ragu, karena saya mengikuti film-film Freddie Highmore sedari dirinya kecil. Freddie selalu bermain dengan sangat baik, walaupun kebanyakan karakter yang dimainkan selalu ‘Freddie Highmore banget’. Selain itu, tokoh George diperlihatkan memiliki bakat menggambar/doodling dengan gaya surrealis. Mungkin karena saya suka juga menggambar, jadi saya selalu merasa punya hubungan batin dengan tokoh yang juga bisa menggambar  (Makanya film ini salah satu film favorit saya ) :D :D :D


Emma Roberts sebagai Sally juga bermain dengan baik, walaupun tidak begitu memukau. Masih bagusan aktingnya di Scream 4 kalau menurut saya. Dari awal film, Emma berakting ya begitu-begitu aja, tidak menunjukan pengembangan karakter yang diharapkan. Namun walaupun begitu, chemistry yang dibangun antara Freddie dan Emma terlihat lumayan baik. A good awkward. Mungkin karena Freddie Highmore berakting dengan apik dan sangat mendalami karakter sehingga bisa membangun chemistry dengan baik. Michael Angarano yang juga berakting cukup baik dan justru mencuri perhatian. Dustin menjadi karakter yang saya sebelin di film ini karena menurut saya mengganggu hubungan baik antara Sally dan George walaupun bukan salahnya juga.

Selain dari departemen akting, yang selalu menjadi favorit di film ini adalah score dan lagu-lagu nya. Alec Puro pastinya mendapatkan poin lebih dari saya. Score maupun lagu-lagu yang dipilih untuk film ini sangat terasa pas dan sebagian memang lagu-lagu favorit saya. Pemilihan lagu-lagu seperti We Will Become Silhouette dari The Shins, We Drink On The Job nya Earlimart, Sleep The Clock Around dari Mates of State, hingga This Momentary dari Delphic terasa sangat pas dengan ritme dan tone film ini. Juga terasa sangat homey dan aroma remaja sangat terasa kental.

Secara keseluruhan, usaha Gavin Wiesen dalam film ini saya anggap berhasil. Film ini ringan dan sangat menghibur . Selain itu The Art Of Getting By mengandung pesan moral terutama tentang motivasi hidup. Sangat cocok bagi para remaja yang juga merasa sedang mencari jati diri seperti George Zinavoy.



[MOVIE REVIEW] The Art Of Getting By (2011): “We live alone. We die alone, and everything else is just an illusion.” - George Zinavoy
17.58.00

[MOVIE REVIEW] The Art Of Getting By (2011): “We live alone. We die alone, and everything else is just an illusion.” - George Zinavoy