Jumat, 27 Mei 2016


Memutuskan nonton film My Stupid Boss karena masih banyak seat yang available dengan posisi yang enak. Yap, dari awal sebenarnya tidak berniat untuk menonton film My Stupid Boss karena saya tidak pernah tahu menahu buku yang menjadi adaptasi film ini dan poster film yang sangat ‘gak banget’ bagi saya. Namun, siapa sangka ternyata di luar ekspektasi saya, film ini cukup menarik dan menghibur.

Menetap di suatu negara lebih lama dari pada biasanya, kali ini Malaysia, seorang wanita asal Indonesia, Diana (Bunga Citra Lestari) memutuskan untuk mengisi waktu luangnya dengan bekerja. Namun, tidak seperti sang suami, Dika (Alex Abbad) yang bisa bekerja dari rumahnya, Diana memilih untuk kerja kantoran. Diana pun melakukan interview di sebuah perusahaan yang mana boss dari perusahaan tersebut merupakan orang Indonesia yang juga sahabat lama dari sang suami, dan merupakan boss yang menjengkelkan.

Diana pun harus dihadapkan dengan segala persolanan yang bukan berasal dari pekerjaanya, namun dari sang boss yang absurd. Selain menjadi boss yang kikir dan ngeselin, Bossman (Reza Rahadian) sapaan akrab si boss memiliki prinsip Bossman always right. Juga motto unik impossible we do, miracle we try yang memperlihatkan bahwa si boss tidak mau rugi. Selain itu banyak lagi kelakuan Bossman yang tidak hanya membuat para karyawannya kesel tapi juga para penonton diajak menyaksikan bagaimana anehnya kelakuan si boss.


Sebagai film komedi, My Stupid Boss meamang menghibur dan bisa membuat anda terpingkal-pingkal, terutama karena dialog antar pemain yang menurut saya sangat menarik. Reza Rahadian, ah, sulit sih memang awalnya membayangkan Reza Rahadian akan berakting konyol, namun ternyata, luar biasa memang akting Reza Rahadian sangat memukau sebagai boss yang menjengkelkan. Benar-benar masuk dalam karakter si bossman yang aneh bin ajaib. Bunga Citra Lestari sebagai tokoh sentral pun berakting cukup baik walaupun kadang seperti terlalu memaksakan akting karyawan-benci-boss nya yang terlalu over. Alex Abbad bermain cukup impressive. Entah kenapa saya sih selalu suka jika Alex Abbad berakting. He’s really good actor. Saya sih malah sangat terkejut dengan akting para karyawan yang lebih pop-up dibanding aktor-aktor utama. Bront Palarae sebagai Adrian, Atikah Suhaime sebagai Norahsikin, Iskandar Zulkarnain berperan sebagai Azhari, dan Chew Kinwah sebagai Mr. Kho. Tanpa mereka, film ini sepertinya tidak akan semenarik ini. Empat aktor ini membuat cerita lebih lucu lengkap dengan karakter yang dibangun sangat kuat dari awal film dimulai. Awesome!


Saya acungi jempol untuk departemen teknis. Film ini berani keluar dari warna-warna film Indonesia. Dari awal film mulai, My Stupid Boss seperti mengingatkan saya dengan film Spike Jonze, Her. Warna merah menjadi warna yang dominan dan terlihat sangat kontras dengan warna lainnya. Namun memang terlihat tone warna yang digunakan sangat menarik dan juga eye-catchy, juga sinematografi yang asik dengan simetrikal dan close-up shots ala-ala Wes Anderson.

Meski film ini cukup menghibur sebagai film komedi, namun sepertinya Upi Avianto sebagai sutradara juga penulis naskah tidak begitu berhasil dalam membangun jalan cerita yang kokoh dan solid. Ceritanya agak mengecewakan dan terkesan jalan di tempat, namun harus buru-buru diakhiri. Sepanjang film kita diajak tertawa namun tiba-tiba film selesai. Ending film yang terasa seperti tidak menyatu dengan film dan terlalu dipaksakan pun terasa sangat mengecewakan bagi saya. Terasa klise dan ‘apa banget’. Sayang memang bagi film yang di awal terasa memiliki potensi besar. Namun walaupun ada beberapa catatan untuk film ini, jika ditonton, film ini oke kok.


[MOVIE REVIEW] My Stupid Boss (2016): Potential, But...
11.33.00

[MOVIE REVIEW] My Stupid Boss (2016): Potential, But...

Minggu, 22 Mei 2016


Wes Anderson merupakan salah satu sutradara modern yang memiliki ciri khas di setiap film garapannya. Quirky style nya sanggup membuat film-film nya membekas di hati para penontonnya. Sebut saja Rushmore (1998), The Royal Tanenbaums (2001), dan yang paling baru adalah The Grand Budapest Hotel (2014). Kesemua film nya mempunyai hal yang unik dan berbeda dari film-film lainnya, dari segi cerita dan penggarapannya. Selalu menampilkan pola-pola unik. Begitu pula dengan Moonrise Kingdom. Ditayangkan sebagai pembuka di Cannes Film Festival 2012, film ini mendapatkan apresiasi hangat dari para audiens. Tanggapan terhadap Moonrise Kingdom pun bisa dibilang sangat positif sehingga membuat saya juga penasaran untuk menonton film ini.

Suatu pagi dihebohkan dengan hilangnya seorang anggota pramuka dari perkemahan ”Khaki Scout” bernama Sam (Jared Gilman), seorang anak laki-laki berumur 12 tahun dan tidak popular. Kehebohan bertambah ketika Suzy (Kara Hayward) putri dari Walt (Bill Murray) dan Laura Bishop (Frances McDormand) juga dinyatakan hilang. Sang pembina pramuka Scout Master Ward (Edward Norton) pun mulai mencari Sam dengan bantuan dari Captain Sharp (Bruce Willis) yang juga mencari kemana hilangnya Suzy. Siapa sangka jika Sam dan Suzy sudah merencanakan ‘pelarian’ mereka dari jauh-jauh hari setelah pertemuan pertama mereka dimana mereka merasakan saling jatuh cinta. Maka dari sini dimulailah petualangan aneh yang penuh cinta ini.


Unik dan menarik. Yap, sedari awal anda akan dibawa kepada hal-hal unik ala Anderson. Menyenangkan dari awal, terlihat dari warna-warna yang tajam dan playful. Impresi yang saya dapatkan dari awal sungguh luar biasa. Bikin saya tidak bisa beranjak dari layar untuk terus mengikuti negeri dongengnya Anderson. Bukan hanya itu, ternyata cerita yang dibangun pun sangat kuat. Dengan tempo yang tidak lambat namun penonton tidak merasa diseret dengan tempo yang cepat, bahkan berhasil membawa kita masuk ke petualangan absurd Sam dan Suzy, juga Scout Master Ward, Captain Sharp dan Mr & Mrs Bishop. Setiap scene juga dieksekusi Anderson dengan sangat baik dan apik.

Secara premis mungkin film ini sangat klise tentang cinta dua anak yang baru akan beranjak remaja. Namun jika digarap oleh Anderson, sepertinya film ini bukan lagi film yang biasa. Ditulis oleh Anderson dan juga Roman Coppola, cerita Sam dan Suzy ini juga dibumbui dengan sedikit konflik-konflik kecil tepatnya yang terjadi di keluarga Suzy, juga masalah cinta. Tak lupa diselipkannya komedi-komedi awkward yang membuat film ini semakin quirky.


Sebagai karakter utama, performa Jared Gilman dan Kara Hayward berhasil dalam membawa petualangan Moonrise Kingdom dari awal hingga akhir dengan sangat manis. Chemistry diantara dua anak ini terbangun dengan baik dan dapat meyakinkan kita bahwa mereka sepertinya benar-benar saling jatuh cinta. Selain Jared dan Kara, karakter pendukung lain pun benar-benar tampil dengan apik. Bill Murray yang langganan main di film-film Anderson pun selalu masuk dalam karakter yang dimainkan.

Jalan cerita yang unik juga harus dibarengi dengan sinematografi apik. Robert Yeoman lah yang ada dibalik sinematografi apik dari semua film-film Wes Anderson. Selalu konsisten dengan pola simetris dan selalu menempatkan objek tepat di tengah. Selain itu dalam pencahayaan, Anderson dan Yeoman sepertinya lebih prefer untuk mengambil gambar di luar ruangan untuk mendapatkan cahaya alami. Penggunaan warna pada film-film nya pun selalu unik. Anderson dan Yeoman banyak menggunakan warna-warna pastel dan warna alami. Penggunaan yellow tint dalam Moonrise Kingdom pun terlihat seperti menggambarkan musim gugur yang hangat. Selain itu, score yang pas dihadirkan oleh Alexander Despalt dan Edward Benjamin Britten dan membuat Moonrise Kingdom menunjukan keindahannya dari awal.



Secara keseluruhan, Moonrise Kingdom merupakan film yang sangat memuaskan. Dengan tema utama cinta yang mungkin bagi sebagian orang menyebutnya cinta monyet, kisah yang sering dianggap remeh, justru memberikan pelajaran yang ‘menohok’ melalui penyampaian yang luar biasa dari Wes Anderson beserta jajaran pemainnya.


[Movie Review] Moonrise Kingdom (2012): A Quirky Love Story
22.30.00

[Movie Review] Moonrise Kingdom (2012): A Quirky Love Story

Jumat, 20 Mei 2016


Di awal tahun 2002, publik sempat dikejutkan dengan headline sebuah koran di Amerika, The Boston Globe, dimana memuat tulisan berjudul “Church allowed abuse by priest for years”. Tentu saja headline tersebut membuat heboh seantero Amerika dan dunia hingga karya investigasi tersebut dianugrahi Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi bagi karya jurnalistik dan literatur. Topik ini menjadi topik yang paling diperbincangkan saat itu, selain kejadian 9/11.  

Kasus yang menghebohkan ini yang menjadi materi dalam film Spotlight arahan sutradara Tom McCarthy dengan skrip yang ditulis juga olehnya bersama Josh Singer. Spotlight menceritakan kisah sekelompok jurnalis investigasi yang tergabung dalam rubrik Spotlight dalam membongkar pelecehan seksual di lingkungan gereja Katolik di Kota Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.


Tim Spotlight yang beranggotakan Walter Robby (Michael Keaton) sebagai editor, Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Matt Carol (Brian d’Arcy James), serta Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams) yang masing-masing bertugas sebagai jurnalis. Dipimpin oleh kepala redaksi Marty Baron (Liev Schreiber) berupaya menggali lebih dalam kasus yang diawali oleh pelecehan seksual yang dilakukan oleh pendeta bernama John Geoghan. Yang menjadikan kasus ini menarik adalah ternyata otoritas gereja terkesan memperbolehkan hal ini terjadi di lingkungan gereja, dan juga pihak berwajib menutup-nutupi hal ini secara sistematis, tanpa adanya proses penyelesaian secara hukum.

Isu ini tentu saja sangat sensitif dan kontroversial, sehingga banyak tantangan yang dihadapi tim Spotlight dalam mencari bukti-bukti tentang kasus ini. Tak semua narasumber mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, walaupun hal tersebut merupakan sebuah bentuk kriminalitas. Penyeledikan pun terus dilakukan hingga diarahkan ke berbagai sudut pandang. Mulai dari sudut pandang hukum, sdari sudut pandan pelaku, hingga korban. Kasus yang mencuat sungguh mencengangkan dan diistilahkan seperti fenomena gunung es.

Memang tidak banyak gimmick ataupun element yang WOW secara teknis di film ini, namun keunggulan film ini hingga memenangkan best picture di Academy Awards 2016 karena kekuatan cerita yang sangat luar biasa. Angka yang sangat mencengangkan dalam kasus ini dipaparkan secara eksplisit. Yang lebih horror, ternyata hal ini tidak hanya terjadi di Boston, namun kasus yang sama mulai terkuak di beberapa negara bagian Amerika yang lain.


Spotlight membahas isu yang sangat sensitif dari beberapa aspek. Bukan hanya menyoroti kasus pelecehan seksual oleh lembaga agama tertua di dunia ini, namun juga menyoroti adanya ketidakterbukaan pihak berwajib, isu tekanan sosial dan moral, krisis kepercayaan terhadap agama, dan juga menyinggung bisnis media massa. Dan semuanya dipaparkan secara pas tanpa mengganggu cerita inti yaitu pembongkaran sebuah skandal besar.

Film ini sangat menguras emosi, apalagi banyak scene yang heartbreaking. Diantaranya ketika Sacha mewawancarai seorang pendeta yang menjadi tersangka. Sang pendeta mengaku dirinya melakukan, dan yang lebih mencengankan dirinya pun mengaku bahwa dulunya dirinya menjadi korban. Sungguh sangat memilukan, apalagi setelah itu Sacha melihat sekumpulan anak-anak yang sedang bersepeda dengan riangnya.  


Yang juga menjadi pembelajaran dalam film ini adalah film dituturkan dengan gaya jurnalis memaparkan sesuatu. Fokus pada tujuan pembongkaran kasus dalam institusi, tanpa mempertanyakan keyakinan para tersangka dan menyerangnya. Plot berjalan sesuai dengan bagaimana para jurnalis ini bekerja tanpa banyak bumbu-bumbu lain dari kehidupan setiap jurnalis. Tidak ada drama yang tidak perlu, fokus  pada kasus dan berhasil memukau di akhir.

Spotlight menjadi salah satu film yang memperlihatkan dimana jurnalis menjadi fungsi yang sebenarnya. Memberitakan kebenaran, menjadi media untuk para orang tertindas. Sungguh film yang sangat menginspirasi, terutama bagi banyak media massa yang tidak jarang bimbang dan dilema ketika harus memberitakan sebuah kebenaran namun banyaknya tekanan dari sana-sini yang membuat media tidak lagi idealis, tidak lagi independen hanya demi kepentingan beberapa pihak.

[MOVIE REVIEW] Spotlight (2015): Attracted Without Gimmick
22.47.00

[MOVIE REVIEW] Spotlight (2015): Attracted Without Gimmick


Menjadi salah satu nominasi film terbaik Oscar 2016 kemarin, Brooklyn memang tidak sekuat pesaing-pesaingnya. Bukan berarti film arahan John Crowley ini jelek, tentu saja tidak, namun film-film seperti The Revenant dengan cerita survival nya, Spotlight dengan kejurnalistikannya, Room, Bridge of Spies, The Big Short, The Martian, juga Mad Max: Fury Road terlihat lebih lebih kuat untuk menyabet patung Oscar, dan kita pun tahu gelar film terbaik akhirnya diberikan kepada Spotlight yang disajikan dengan sangat brilian.

Brooklyn berkisah tentang seorang Eilis Lacey (Saoirse Ronan) seorang gadis dari kota kecil di Irlandia yang mengadu nasib di New York, Amerika Serikat. Tinggal di rumah kost yang hangat, bekerja di department store yang bagus, juga didaftarkan untuk melanjutkan kuliah bukan berarti membuat Eilis tidak dirundung masalah seorang anak rantau. Dirinya terkena homesick yang lumayan parah, hingga suatu hari dirinya bertemu dengan seorang pria keturunan Italia yang menawan dan sopan bernama Anthony Fiorello (Emory Cohen) yang membawa efek lumayan dahsyat kepada Eilis. Namun, Eilis mengalami gejolak ketika ada sesuatu yang mengharuskan dirinya pulang ke Irlandia. Di sini lah Eilis harus memilih antara rumah baru atau rumah lama dimana dirinya juga akan bertemu pria kaya dan menawan lain bernama Jim Farrell (Domnhall Gleeson).


Premis film ini memang terlihat sangat sederhana, namun ternyata ada sesuatu di dalam film ini yang tidak bisa diabaikan. Film ini tidak memuat konflik yang jungkir balik, terkesan sangat tenang dan mengalir apa adanya namun disitulah keindahannya. Brooklyn merupakan kisah cinta yang baru saja tumbuh dan akan mekar, namun harus dipisahkan jarak antara Irlandia-Amerika dan mengenal konflik yang dinamakan rindu.

Brooklyn layaknya es krim vanilla-stroberi. Manis dan juga ada rasa masam, namun tidak berlebihan. Kadarnya masih bisa ditolerir lidah. Rasa masam dan manis yang nyaman. Brooklyn sanggup membuat saya mesem-mesem karena manisnya, dan sanggup juga membuat saya menetesekan air mata karena masamnya. Masalah yang dihadapi Eilis di Brooklyn ada pada kadar yang pas. John Crowley sanggup untuk menyajikan Brooklyn menjadi drama epic yang membekas di hati saya. Beberapa scene juga memuat jokes yang pas tanpa terkesan canggung.


Menyaksikan Saoirse Ronan bermain di film ini sungguh membuah saya bangga. Saya termasuk yang mengikuti film-film nya. Ronan selalu masuk dalam karakter yang dia perankan. Tidak terkecuali ketika berperan sebagai Eilis. Saya tidak pernah membayangkan jika film ini akan dimainkan oleh aktris lain karena Ronan sangat sangat pas untuk menjadi Eilis. She always be my favorite girl. Karakter utama pria pun dimainkan sangat apik oleh Emory Cohen. Menjadi pria keturunan Italia yang decent dan pekerja keras. I want one like him, kalau ada. Haha… Pun Domnhall Gleeson dan juga sederet aktor lain bermain sangat baik tanpa ada ketimpangan yang terlihat jelas. Ikatan emosi setiap pemain pun terjalin dengan sempurna.


Acungan jempol patut saya berikan kepada departemen teknis. Sinematografi yang apik dapat memanjakan mata anda. Kentalnya aksen irish dan Italia, juga kostum-kostum vintage khas 50’an bersliweran. Anda akan dimanjakan warna-warna pastel yang lembut ketika menonton film ini dan membuat film ini sangat otentik.

Secara keseluruhan, Eilis diharuskan memilih ‘rumahnya’. Memilih antara siapa yang patuh dicintainya dan siapa yang patut mendapatkan cintanya. Brooklyn merupakan sebuah kisah cinta sederhana yang terasa sangat istimewa.



[MOVIE REVIEW] Brooklyn (2015): Home Is Home
17.33.00

[MOVIE REVIEW] Brooklyn (2015): Home Is Home

Rabu, 18 Mei 2016


Sukses bikin saya buru-buru mengklik thumbnail trailer film dengan judul Midnight Special ini di youtube, saya benar-benar tidak sabar untuk menontonnya dengan segera. Alasan saya penasaran dengan film ini adalah, karena di awal saya menonton trailernya, film ini mengingatkan saya pada video klip musisi M83 berjudul Midnight City, di mana dalam video klip tersebut terlihat anak-anak dengan mata yang memancarkan cahaya. Persis seperti film ini. Apa film ini terilhami dari video klip Midnight City? Entahlah. Yang jeals film ini sangat menarik perhatian saya.

Film ini dibuka dengan telah diculiknya seorang anak dari sebuah pedesaan atau lebih tepatnya sebuah sekte keagamaan dan menganggap bahwa si anak ini berbahaya hingga harus segera ditemukan. Berita tentang hilangnya si anak yang bernama Alton (Jaeden Lieberher) menjadi menyebar bahkan FBI pun mencari keberadaan Alton yang ternyata ‘diculik’ oleh sang ayah Roy (Michael Shannon), dibantu sahabat masa kecilnya Lucas (Joel Edgerton). Tidak lama ibu dari sang anak, Sarah (Kristen Dunst) ikut bergabung. Anton ‘dilarikan’ karena  suatu hal yang menyangkut si anak yang harus berada di suatu tempat pada hari yang telah ditentukan, namun mereka harus tetap aman dari kejaran FBI dan juga sekte yang mencari Alton. Selain itu, ada sesuatu antara Alton dan sinar matahari. 



Apa yang special dari film Midnight Special? Film ini merupakan film sci-fi yang lebih mempertahankan ide cerita dan menyampaikannya dengan mengedepankan sisi misteri untuk dikunyah para penontonnya. Di sepanjang perjalanan bersama Alton, Roy dan Lucas, kita akan terus bertanya-tanya, sebenernya ada apa sih? Dan siapa sebenarnya Alton? Jeff Nichols sang sutradara berhasil untuk mempertahankan misteri ini secara memikat. Penonton sedari awal sudah dihadapkan dengan problem yang membuat penasaran dengan perlahan tapi pasti rasa heran yang kuat pun terjaga hingga akhir film. Sungguh formula yang jenius untuk sebuah film sci-fi.

Film ini juga sangat kuat menceritakan bagaimana sang ayah sangat ingin melindungi putranya hingga ‘misi’ nya selesai. Tokoh Lucas juga sungguh menarik, dimana diceritakan bahwa dirinya tidak percaya bahwa Alton beda dari anak-anak lain namun dirinya tetap berusaha semaksimal mungkin melindungi Alton. Di sisi lain, penonton pun digiring pada tokoh Paul Savier yang diperankan oleh Adam Driver sebagai penyidik NSA yang pada akhirnya akan mengungkap kebenaran tentang Alton. Dengan kecanggunganya, dirinya hanya bisa tercengang dengan apa yang mampu dilakukan Alton.


Sejatinya film ini merupakan film tentang bagaimana orang tua melindungi anaknya yang sedang dalam bahaya. Emosi yang diperlihatkan dalam film ini sangat memikat, dimana semua bermain dengan sangat apik. Selain itu, film ini menceritakan bagaimana seorang anak dapat memicu ancaman yang bisa berakibat fatal apabila tidak segera ditangani. Apa kelemahan film ini? Mungkin karena film ini sangat terasa segmented. Tidak semua orang bisa menikmatinya dengan baik. Sebagian mungkin akan terasa bahwa film ini membosankan. Film ini bisa sangat memikat atau malah bisa membuat seseorang frustrasi.

Midnight Special mengajari kita untuk bagaimana tumbuh menjadi orang tua disaat harus merelakan sang anak tanpa pengawasan orang tua pada akhirnya. Jeff Nichols berhasil membuat drama keluarga berbalut sci-fi yang padat dan berani. Diawali dengan drama penculikan, tumbuh menjadi misteri di sepanjang film, hingga rasa heran pun terus terjaga dan diakhiri dengan cukup memilukan membuat film ini sangat layak untuk ditonton bagi kalian yang menggemari film sci-fi dengan penyampaian yang unik.



[MOVIE REVIEW] Midnight Special (2016): Real Strange And Addictive
00.38.00

[MOVIE REVIEW] Midnight Special (2016): Real Strange And Addictive

Selasa, 17 Mei 2016



Setelah sukses dengan film sebelumnya, The Purge pada tahun 2013, James DeMonaco kembali menghadirkan ritual penyucian diri tahunan dalam The Purge: Anarchy. Masih dengan premis yang kontroversial dan nyeleneh, sekuel The Purge ini kembali meraup kesuksesan yang dalam segi finansial. Film ini dianggap sedikit lebih baik dibanding pendahulunya, meskipun masih banyak para penonton yang menginginkan James DeMonaco lebih mengeksplorasi ide brilian ini dengan lebih baik.

Jika di film sebelumnya cerita lebih menitikberatkan kepada sebuah keluarga yang tiba-tiba menjadi sasaran penyucian diri, kali ini alurnya cukup berbeda. Tidak lagi berkutat di dalam rumah, namun kali ini penonton diajak untuk menyaksikan seperti apa jalanan di Amerika ketika annual purge. Brutal!

Tiga plot berbeda ditampilkan dalam cerita sebelum akhirnya mereka bersama-sama melewati malam yang bagai neraka itu. Leo Barnes (Frank Grillo) berniat untuk ikut dalam annual purge untuk membalaskan dendam. Dirinya mempersenjatai diri dengan sangat lengkap. Eva (Carmen Ejogo), bersama putrinya Cali (Zoe Jiwa), dan juga pasangan suami istri Shane (Zach Gilford) dan Liz (Kiele Sanchez) terpaksa harus berada di jalanan dan bermain petak umpet dan berharap tidak menjadi korban dalam annual purge.


Lebih baik dari film pendahulunya? Harus dikatakan iya. Namun masih seperti di film pertama, DeMonaco seperti bingung harus menggarapnya seperti apa. Padahal dengan ide brilian seperti ini, saya dan juga penonton lain pastinya menginginkan sesuatu yang WOW. Film ini lebih baik karena berpindah dari sekedar home invasion ke jalanan Los Angeles dengan kendaraaan-kendaraan yang dipersenjatai dan topeng-topeng mengerikan. Dalam film ini pun diceritakan bahwa adanya sekelompok orang yang tidak setuju dengan diadakannya annual purge karena dianggap tidak memihak kepada rakyat kecil. Namun hal ini kembali menguap tidak diceritakan lebih jauh lagi akan seperti apa gerakan anti-pugre ini.

Kembali saya acungkan jempol kepada departemen kostum. The Purge: Anarchy terlihat mengerikan karena para ‘peserta’ annual purge mengenakan kostum-kostum dan topeng-topeng yang creepy. Saya yakin topeng-topeng yang ada di film ini laku di pasaran untuk perayaan Halloween karena memang sangat menyeramkan. Lengkap dengan baseball bat dan skateboard seseorang yang menggunakan topeng-topeng ini bisa bikin saya ngeri.

Lagi, dengan premis yang original, film ini tidak cukup membangun cerita yang seharusnya lebih baik dan lebih menegangkan. Walaupun cukup memorable dengan ‘stay safe’ dan topeng-topeng menakutkannya, tetap film ini butuh sesuatu dari sekedar film survival biasa. Film lanjutannya dijadwalkan hadir pada Juli 2016 dengan judul The Purge: Election Year. Saya tetap berharap film lanjutannya akan jauh, jauh lebih baik, karena film ini jadi salah satu film action-horror favorit saya hanya karena premisnya yang original. Semoga harapan saya bisa terpuaskan di film selanjutnya.

[MOVIE REVIEW] The Purge: Anarchy (2014): Again, 12 Hours of Hell.
22.23.00

[MOVIE REVIEW] The Purge: Anarchy (2014): Again, 12 Hours of Hell.



Diluar review jelek tentang film ini, saya sih cukup menikmatinya karena ide film ini brilian. The Purge merupakan film action-horror yang ditulis dan disutradarai oleh James DeMonaco. Film ini dianggap sukses dipasaran untuk sebuah film yang low budget. Mendulang hampir 30 kali lipat dari biaya pembuatannya dan menjadi hits di awal tahun 2013 karena premisnya yang dianggap nyeleneh.

Siapa sangka di tahun 2022 Amerika Serikat akan menjadi negara yang lahir kembali dan mempunya New Founding Fathers. Untuk menjaga angka pengangguran juga kriminalitas tetap rendah, pemerintah memberlakukan 12 jam annualThe Purge” atau pembersihan, atau dalam hal ini penyucian atau penebusan dosa. Dalam 12 jam (mulai jam 7 malam hingga 7 pagi) tersebut semua tindakan kriminalitas  (pembunuhan, perampokan, pemerkosaan) dilegalkan baik bersenjata ataupun tidak walaupun penggunaan senjata tingkat 4 (bom, roket, misil) dilarang. Saat pelaksanaan The Purge semua social services seperti polisi dan ambulan, dan pemadam kebakaran dalam status tidak aktif dan para korban The Purge akan ‘diurus’ keesokan harinya. Saat pelaksaannya siapapun dilarang menyerang pejabat pemerintah dalam level 10. Mereka harus tetap tanpa luka apapun alasannya. The Purge hanya berlaku bagi setiap warga sipil Amerika Serikat untuk melampiaskan hasrat ‘kebinatangannya’ setelah 1 tahun tidak boleh melakukan tindakan kriminalitas. Gila kan!


James Sandin (Ethan Hawke) merupakan seorang developer untuk security home bagi orang-orang kaya di kawasan perumahan elit. Sistem tersebut diklaim mampu bertahan dan sangat aman terutama pada saat annual “The Purge”. James Sandin dan istrinya, Mary Sandin (Lena Headey) bersama kedua anak mereka Zoey (Adelaide Kane) dan Charlie (Max Burkholder) dianggap keluarga yang diuntungkan dari diadakannya annual The Purge ini. James selalu menganggap security home yang terpasang di setiap sudut rumahnya itu sangat aman sehingga tidak akan ada siapapun yang menerobos masuk, hingga pada suatu saat sang putra, Charlie melakukan sebuah tindakan yang membahayakan seluruh anggota keluarga.

Meskipun premis yang dimiliki film ini sangat unik dan tergolong original, namun sepertinya sang sutradara kebingungan untuk mengeksekusi ide-ide brilian tersebut kesebuah cerita horror yang dialami sebuah keluarga. Film ini tidak digarap secara maksimal.


Untuk sebuah kritik, film ini sangat sarat akan kritik terhadap pemerintahan New America dimana di film ini terlihat bahwa The Purge merupakan ajang pelampiasan emosi atau sebuah katarsis dari rakyat Amerika, dan hal ini dianggap sebagai bentuk patriotisme dimana Amerika bisa menjaga angka pengangguran dan kriminalitas tetap rendah, dengan ‘saling membunuh’. Selain itu, ketimpangan antara si kaya dan si miskin dapat terlihat di film ini. Dimana si kaya dapat membentengi rumahnya dengan home security yang diklaim tidak dapat dibobol, dan si miskin yang tidak mampu membentengi rumahnya pasrah saja dengan nasibnya dan berharap dirinya tidak menjadi sasaran di The Purge. Hal tersebut tentu saja merupakan jalan termudah untuk memberantas kemiskinan, bukan? Dalam hai ini James DeMonaco tidak mengeksplorasi penyucian diri ini dengan maksimal, sehingga film ini terkesan hanya film pembunuhan biasa.

Ketegangan di film ini terasa antiklimaks, tidak begitu intens. Mungkin karena setting film ini hanya di dalam rumah, unsur kebrutalan di film ini tidak begitu terasa. Karakter para pemain pun terasa hambar. Tidak ada yang benar-benar membuat saya jerit-jerit ataupun loncat-loncat ketika menontonnya karena tegang. Hanya kaget, itu pun sesaat saja. Yang membuat film ini creepy justru topeng-topeng dan kostum-kostum yang digunakan oleh orang-orang yang melakukan ritual penyucian. Secara keseluruhan film ini sayangnya tidak begitu istimewa, namun cukup menghibur untuk tontonan di kala senggang.


[MOVIE REVIEW] The Purge (2013): One Night A Year, All Crime Is Legal
20.36.00

[MOVIE REVIEW] The Purge (2013): One Night A Year, All Crime Is Legal

“Since the dawn of recorded history, something like 110 billion human beings have been born into this world.  And not a single one of them made it.  There are 6.8 billion people on the planet.  Roughly 60 million of them die every year. 60 million people.  That comes out to about 160,000 per day.  I read this quote once when I was a kid, “We live alone, we die alone.  Everything else is just an illusion. ”  It used to keep me up at night.  We all die alone.  So, why am I supposed to spend my life working, sweating, struggling? For an illusion?  Because no amount of friends, no girl, no assignments about conjugating the pluperfect or determining the square root of the hypotenuse is gonna help me avoid my fate.  I have better things to do with my time.”
Merupakan monolog pembuka yang menjadi titik awal dalam film ini dimana sang tokoh utama, George Zinavoy (Freddie Highmore) seorang remaja tahun terakhir SMA yang biasa saja namun memiliki bakat seni ini merasa bahwa memang hidup ini ya cuma numpang lewat, sehingga dirinya tidak mau repot-repot melakukan sesuatu dan berusaha setidaknya mengerjakan PR karena menurutnya itu semua merupakan pekerjaan yang sia-sia.

George selalu bersikap acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya dan dianggap aneh oleh teman-temannya. Hingga suatu hari George tidak sengaja bertemu dengan Sally Howe (Emma Roberts) teman seangkatannya dan perkenalannya itu membuat George menjadi sedikit lebih peduli dan juga membuka diri terhadap orang lain, terutama Sally.


Plot film ini sebenarnya sekilas mirip dengan drama percintaan remaja lainnya, namun yang menjadi daya tarik film ini adalah hubungan antara George dan Sally yang sebenarnya bukan inti cerita dari film ini. Gavin Wiesen sebagai sutradara menyampaikan secara tersirat bahwa film ini menceritakan remaja yang sedang mencari jati diri, khususnya dalam hal ini George Zinavoy. Dimana kehidupan George memang rumit. Bermasalah dengan sekolah karena perilakunya yang acuh tidak acuh, permasalahan dengan ayah tirinya, hingga kehadiran Dustin (Michael Angarano) yang harusnya datang sebagai pembimbing George dalam bakatnya, namun berakhir menjadi ‘perusak’ hubungan dirinya dengan Sally.

Film ini memang tidak begitu sempurna, namun cukup untuk membuat saya menontonnya berulang kali ketika senggang. Tokoh George menjadi favorit saya karena kadang terlihat menjengkelkan namun juga lovable.  Freddie Highmore memerankan tokoh George dengan sangat apik. Saya memang tidak ragu, karena saya mengikuti film-film Freddie Highmore sedari dirinya kecil. Freddie selalu bermain dengan sangat baik, walaupun kebanyakan karakter yang dimainkan selalu ‘Freddie Highmore banget’. Selain itu, tokoh George diperlihatkan memiliki bakat menggambar/doodling dengan gaya surrealis. Mungkin karena saya suka juga menggambar, jadi saya selalu merasa punya hubungan batin dengan tokoh yang juga bisa menggambar  (Makanya film ini salah satu film favorit saya ) :D :D :D


Emma Roberts sebagai Sally juga bermain dengan baik, walaupun tidak begitu memukau. Masih bagusan aktingnya di Scream 4 kalau menurut saya. Dari awal film, Emma berakting ya begitu-begitu aja, tidak menunjukan pengembangan karakter yang diharapkan. Namun walaupun begitu, chemistry yang dibangun antara Freddie dan Emma terlihat lumayan baik. A good awkward. Mungkin karena Freddie Highmore berakting dengan apik dan sangat mendalami karakter sehingga bisa membangun chemistry dengan baik. Michael Angarano yang juga berakting cukup baik dan justru mencuri perhatian. Dustin menjadi karakter yang saya sebelin di film ini karena menurut saya mengganggu hubungan baik antara Sally dan George walaupun bukan salahnya juga.

Selain dari departemen akting, yang selalu menjadi favorit di film ini adalah score dan lagu-lagu nya. Alec Puro pastinya mendapatkan poin lebih dari saya. Score maupun lagu-lagu yang dipilih untuk film ini sangat terasa pas dan sebagian memang lagu-lagu favorit saya. Pemilihan lagu-lagu seperti We Will Become Silhouette dari The Shins, We Drink On The Job nya Earlimart, Sleep The Clock Around dari Mates of State, hingga This Momentary dari Delphic terasa sangat pas dengan ritme dan tone film ini. Juga terasa sangat homey dan aroma remaja sangat terasa kental.

Secara keseluruhan, usaha Gavin Wiesen dalam film ini saya anggap berhasil. Film ini ringan dan sangat menghibur . Selain itu The Art Of Getting By mengandung pesan moral terutama tentang motivasi hidup. Sangat cocok bagi para remaja yang juga merasa sedang mencari jati diri seperti George Zinavoy.



[MOVIE REVIEW] The Art Of Getting By (2011): “We live alone. We die alone, and everything else is just an illusion.” - George Zinavoy
17.58.00

[MOVIE REVIEW] The Art Of Getting By (2011): “We live alone. We die alone, and everything else is just an illusion.” - George Zinavoy

Minggu, 15 Mei 2016


Sedari dahulu kala tidak pernah enjoy menonton film perang dan juga bukan penggemar film perang. Tapi, dengan penuh keimpulsifan, akhirnya saya memutuskan untuk menonton Apocalypse Now demi Francis Ford Coppola. Sebenarnya demi menjawab penasaran saya sedahsyat apakah film ini sampai mendapatkan 5 bintang di rottentomatoes? Dan ternyata saya pun tidak menyesal menonton film yang dianggap sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. Siapa sangka keagungan Francis Ford Coppola dengan The Godfather nya bisa juga tertuang dalam Apocalypse Now.

Ber-setting pada masa perang Vietnam, Apocalypse Now menceritakan tentang seorang veteran di kesatuan U.S Army, Captain Willard (Michael Sheen) yang tidak sedang dalam tugas justru merasa bahwa rumah bukanlah tempatnya. Willard merasa medan peranglah yang menjadi rumahnya. Dan ketika secara tiba-tiba mendapat tugas untuk kembali ke medan perang, dirinya tidak menolak. Misi kali ini adalah untuk menemukan seorang Kolonel Kurtz (Marlon Brando) dan membunuhnya. Kolonel Kurtz merupakan seorang prajurit yang dianggap sangat visioner dan karirnya sangat sempurna. Bahkan Willard sempat heran kenapa seorang prajurit yang sangat sempurna ini diperintahkan untuk dibunuh. Namun sepertinya peperangan yang tak kunjung usai telah merubahnya menjadi gila dan Kurtz bahkan membentuk pasukannya sendiri di suatu perkampungan di Kamboja dan berbalik memerangi tanah airnya sendiri.  


Di perjalanan menuju lokasi yang dianggap markas Kolonel Kurtz, Willard dan tim nya harus melewati dan menyaksikan berbagai kondisi peperangan. Bagai neraka, dirinya dan tim harus menyaksikan ledakan, tembak-menembak, pembantaian , dan hal mengerikan lainnya. Hingga Willard rasanya sudah hampir gila melihat peperangan yang kian memburuk. Kurtz memang sangat sulit ditemukan karena dirinya dilindungi oleh penduduk desa yang menganggapnya sebagai messiah hingga tidak ada yang bisa macam-macam terhadapnya.

Hingga akhirnya Willard dan tim nya tiba di tempat yang dianggap markas persembunyian Kolonel Kurtz. Disambut dengan mayat-mayat yang tergantung dan tertombak si sisi sungai membuat markas kolonel Kurtz terlihat sangat menyeramkan seperti sebuah tempat keramat. Sungguh gila. Walaupun Kurtz hanya muncul di akhir film, jika dihitung mungkin tidak lebih dari setengah jam Marlon Brando muncul di film ini dengan penampilan yang sudah pasti bagus, walaupun tidak istimewa. Kita diperlihatkan bagaimana Kurtz sangat dekat dengan penduduk desa namun tetap terlihat kejam dan mengerikan. Meskipun Kurtz hanya muncul di akhir, namun penggambaran tentang Kolonel Kurtz yang dinarasikan sepanjang film membuat kita penasaran sekejam apa sih Kurtz hingga Kolonel Lucas (Harrison Ford) yang memberi misi kepada Willard ingin Kurtz dibunuh saja karena dianggap sangat berbahaya.


Film ini berisi adegan-adegan yang sungguh gila dan sadis. Jika tidak tahan dengan hal-hal yang mengandung gore, tidak disarankan untuk menonton film ini, karena adegan seperti mayat tergantung, tertombak, dan pembantaian tersebar selama tiga jam film ini berlangsung.

Selain kegilaan dan kesadisan yang dimunculkan di film ini, film ini sarat akan ambiguitas dan moralitas. Setiap tokoh tidak sepenuhnya hitam dan tidak sepenuhnya putih. Kurtz yang dianggap gila dari awal ternyata jika kita telisik dari awal kemunculannya ternyata bukan murni jahat. Willard bahkan sempat terkagum-kagum dengan ucapan Kurtz hingga pantas saja dianggap messiah oleh penduduk setempat. Di akhir film kita pun disadarkan bahwa yang terjadi bukan hanya perang fisik, namun juga perang psikis dan dan perang moralitas.



Apocalypse Now merangkum peperangan dengan sangat dalam dan kelam. Kekejaman dan kengerian medan perang tersaji sangat apik selama tiga jam film berlangsung. Coppola seperti ingin menghadirkan bagaimana kegilaan medan perang yang seperti neraka itu bisa merubah manusia yang baik menjadi jauh berbeda karena keadaan yang sangat keras. Film ini sangat disarankan bagi kalian yang memang sangat menggemari film perang. Pearl Harbor mah lewat jauh banget! :D

[MOVIE REVIEW] Apocalypse Now (1979): Best War Movie I've Ever Seen
22.58.00

[MOVIE REVIEW] Apocalypse Now (1979): Best War Movie I've Ever Seen

Sabtu, 14 Mei 2016


Siapa sangka pada masanya, film ini dianggap tidak terlalu disukai baik oleh penonton maupun para kritikus film. Sang pembuat cerita, Stephen King pun menganggap bahwa film ini mengecewakan dan jauh dari ekspektasinya. Tapi apa seburuk film itu kah film ini? Ini film arahan sutradara perfeksionis dan gila Stanley Kubrick, apakah film nya segagal itu? Mungkin pada masanya film ini dianggap gagal namun siapa sangka film ini menjadi salah satu film cult classic yang selalu direkomendasikan untuk ditonton para pecinta film pada masa ini. Ya, mungkin membutuhkan satu hingga dua dekade untuk bisa mengerti isi kepala Kubrick yang dituangakan dalam sebuah film horror berjudul The Shining ini. Tapi, yah, film-film Kubrick memang sulit untuk dimengerti.

Film The Shining ini menceritakan tentang Jack Torrance (Jack Nicholson) yang diterima kerja sebagai caretaker sebuah hotel bernama Overlook Hotel di saat off-season dan mengajak sang anak Danny (Danny Lloyd)  dan istrinya Wendy (Shelley Duvall) untuk juga tinggal di hotel megah dan mewah tersebut. Namun siapa sangka jika hotel tersebut ternyata menyimpan rahasia kelam yang mengerikan.


Jika dibandingkan dengan horror lainnya, unsur horror di The Shining tidak se-horror film horror lainnya. Tidak banyak adegan bunuh membunuh dan berdarah ataupun kemunculan hantu yang tidak semenakutkan yang dikira, namun film ini mampu membangun atmosfer kelam dan menegangkan. Bahkan lorong-lorong hotel yang simetris dan sepi saja bisa terlihat sangat mengerikan dan menakutkan. Stanley Kubrick memang terkenal sangat perfeksionis dalam menggarap sebuah film. Semua adegan di garap dengan sangat baik. Ketegangan dibangun sangat perlahan dan menyentak tiba-tiba dengan kurang ajar. Beberapa adegan bahkan menjadi cult dan menjadi viral di era ini seperti kata REDRUM, the creepy twins, hingga kalimat “Hereee is Johnny!!!”.

Menonton film The Shining tidak bisa tidak mengaitkannya dengan film 2001: A Space Odyssey, film Kubrick pertama yang saya tonton. Mengaitkan dalam hal penggarapannya yang khas Kubrick. Begitu tahu Kubrick yang menggarap, satu hal yang saya camkan ketika akan menonton film ini adalah, “film ini bukan film sederhana”. Kubrick tidak pernah menggarap film nya dengan simple. Film-film nya selalu penuh dengan ambiguitas dan juga keabsurdannya terkadang bikin frustrasi siapa pun yang menonton. The Shining yang dianggap film Kubrick yang paling mainstream pun tidak bisa menawarkan hal yang mainstream. Setiap penonton bebas untuk menafsirkan sendiri semua adegan yang sebenarnya terjadi di film.


Di film ini pula saya tahu bahwa Jack Nicholson pernah muda :D (dan semenyeramkan ketika sudah tua). Akting Jack Nicholson benar-benar sangat total dan mengerikan. Meskipun Stephen King dikatakan tidak menyukai Jack Nicholson yang memerankan Jack Torrance karena dianggap perannya akan sangat ‘Jack Nicholson banget’, namun menurut saya Jack sangat cocok memerankan Jack Torrance. He’s so creepy!! Selain Jack, ada Shelley Duvall yang memerankan istri Jack Torrance, Wendy. Entah kenapa akting dari Shelley Duvall ini menurut saya rada-rada menjengkelkan. Mungkin itu juga yang diinginkan Kubrick untuk karakter Wendy. Unik dan sedikit annoying. Walaupun tetap, Stephen King juga mendebat Shelley Duvall sebagai karakter Wendy ini. Jangan melupakan tokoh penting di film ini, our little Danny yang diperankan oleh Danny Lloyd. Danny berhasil membuat penonton gemas karena kelucuan parasnya, akting nya pun sangat memuaskan.


The Shining merupakan film horror yang khas. Sangat artistik. Semuanya sangat khas Kubrick. Scenery yang indah akan memanjakan mata dari awal film. Sinematografi yang apik sekaligus creepy akan terus dijumpai sepanjang film. Score yang disturbing juga merupakan salah satu elemen yang membuat film ini menjadi film horror yang menyeramkan, meskipun seperti yang tadi saya tulis di awal, unsur horror di film ini tidak seintens film horror biasanya. Namun. beberapa scene terasa sangat haunting dan bisa membuat anda sumpah serapah bahkan menjerit.


Jika anda mencari suguhan horror dengan adegan berdarah-darah dan hantu, you got the wrong movie, tapi jika anda menginginkan tontonan apik dan surreal namun membuat bulu kuduk anda tetap merinding, The Shining bisa memberikan itu. A must watch movie. It’s Kubrick, for God’s sake!


_____________________
FACTS:
Film ini dianggap menyampaikan pesan-pesan tersembunyi yang berkaitan dengan beberapa kejadian termasuk pendaratan palsu ke bulan, yang konon disutradarai oleh Stanley Kubrick. Selain itu, banyaknya goofs di film ini juga dianggap petunjuk karena Kubrick merupakan salah satu sutradara yang sangat perfeksionis, jadi untuk apa menyebar goofs yang cukup mengganggu? Namun sepertinya Kubrick menyimpan petunjuk-petunjuknya di situ. Pembahasan tentang pesan-pesan tersembunyi di film The Shining ini juga dituangkan dalam film Room 237 (2012). 
[MOVIE REVIEW] The Shining 1980: "Hereee is Johnnyyy!!!"
22.48.00

[MOVIE REVIEW] The Shining 1980: "Hereee is Johnnyyy!!!"