Selasa, 17 Mei 2016

[MOVIE REVIEW] The Art Of Getting By (2011): “We live alone. We die alone, and everything else is just an illusion.” - George Zinavoy
17.58.00

[MOVIE REVIEW] The Art Of Getting By (2011): “We live alone. We die alone, and everything else is just an illusion.” - George Zinavoy

“Since the dawn of recorded history, something like 110 billion human beings have been born into this world.  And not a single one of them made it.  There are 6.8 billion people on the planet.  Roughly 60 million of them die every year. 60 million people.  That comes out to about 160,000 per day.  I read this quote once when I was a kid, “We live alone, we die alone.  Everything else is just an illusion. ”  It used to keep me up at night.  We all die alone.  So, why am I supposed to spend my life working, sweating, struggling? For an illusion?  Because no amount of friends, no girl, no assignments about conjugating the pluperfect or determining the square root of the hypotenuse is gonna help me avoid my fate.  I have better things to do with my time.”
Merupakan monolog pembuka yang menjadi titik awal dalam film ini dimana sang tokoh utama, George Zinavoy (Freddie Highmore) seorang remaja tahun terakhir SMA yang biasa saja namun memiliki bakat seni ini merasa bahwa memang hidup ini ya cuma numpang lewat, sehingga dirinya tidak mau repot-repot melakukan sesuatu dan berusaha setidaknya mengerjakan PR karena menurutnya itu semua merupakan pekerjaan yang sia-sia.

George selalu bersikap acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya dan dianggap aneh oleh teman-temannya. Hingga suatu hari George tidak sengaja bertemu dengan Sally Howe (Emma Roberts) teman seangkatannya dan perkenalannya itu membuat George menjadi sedikit lebih peduli dan juga membuka diri terhadap orang lain, terutama Sally.


Plot film ini sebenarnya sekilas mirip dengan drama percintaan remaja lainnya, namun yang menjadi daya tarik film ini adalah hubungan antara George dan Sally yang sebenarnya bukan inti cerita dari film ini. Gavin Wiesen sebagai sutradara menyampaikan secara tersirat bahwa film ini menceritakan remaja yang sedang mencari jati diri, khususnya dalam hal ini George Zinavoy. Dimana kehidupan George memang rumit. Bermasalah dengan sekolah karena perilakunya yang acuh tidak acuh, permasalahan dengan ayah tirinya, hingga kehadiran Dustin (Michael Angarano) yang harusnya datang sebagai pembimbing George dalam bakatnya, namun berakhir menjadi ‘perusak’ hubungan dirinya dengan Sally.

Film ini memang tidak begitu sempurna, namun cukup untuk membuat saya menontonnya berulang kali ketika senggang. Tokoh George menjadi favorit saya karena kadang terlihat menjengkelkan namun juga lovable.  Freddie Highmore memerankan tokoh George dengan sangat apik. Saya memang tidak ragu, karena saya mengikuti film-film Freddie Highmore sedari dirinya kecil. Freddie selalu bermain dengan sangat baik, walaupun kebanyakan karakter yang dimainkan selalu ‘Freddie Highmore banget’. Selain itu, tokoh George diperlihatkan memiliki bakat menggambar/doodling dengan gaya surrealis. Mungkin karena saya suka juga menggambar, jadi saya selalu merasa punya hubungan batin dengan tokoh yang juga bisa menggambar  (Makanya film ini salah satu film favorit saya ) :D :D :D


Emma Roberts sebagai Sally juga bermain dengan baik, walaupun tidak begitu memukau. Masih bagusan aktingnya di Scream 4 kalau menurut saya. Dari awal film, Emma berakting ya begitu-begitu aja, tidak menunjukan pengembangan karakter yang diharapkan. Namun walaupun begitu, chemistry yang dibangun antara Freddie dan Emma terlihat lumayan baik. A good awkward. Mungkin karena Freddie Highmore berakting dengan apik dan sangat mendalami karakter sehingga bisa membangun chemistry dengan baik. Michael Angarano yang juga berakting cukup baik dan justru mencuri perhatian. Dustin menjadi karakter yang saya sebelin di film ini karena menurut saya mengganggu hubungan baik antara Sally dan George walaupun bukan salahnya juga.

Selain dari departemen akting, yang selalu menjadi favorit di film ini adalah score dan lagu-lagu nya. Alec Puro pastinya mendapatkan poin lebih dari saya. Score maupun lagu-lagu yang dipilih untuk film ini sangat terasa pas dan sebagian memang lagu-lagu favorit saya. Pemilihan lagu-lagu seperti We Will Become Silhouette dari The Shins, We Drink On The Job nya Earlimart, Sleep The Clock Around dari Mates of State, hingga This Momentary dari Delphic terasa sangat pas dengan ritme dan tone film ini. Juga terasa sangat homey dan aroma remaja sangat terasa kental.

Secara keseluruhan, usaha Gavin Wiesen dalam film ini saya anggap berhasil. Film ini ringan dan sangat menghibur . Selain itu The Art Of Getting By mengandung pesan moral terutama tentang motivasi hidup. Sangat cocok bagi para remaja yang juga merasa sedang mencari jati diri seperti George Zinavoy.



0 komentar:

Posting Komentar