Jumat, 20 Mei 2016

[MOVIE REVIEW] Spotlight (2015): Attracted Without Gimmick
22.47.00

[MOVIE REVIEW] Spotlight (2015): Attracted Without Gimmick


Di awal tahun 2002, publik sempat dikejutkan dengan headline sebuah koran di Amerika, The Boston Globe, dimana memuat tulisan berjudul “Church allowed abuse by priest for years”. Tentu saja headline tersebut membuat heboh seantero Amerika dan dunia hingga karya investigasi tersebut dianugrahi Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi bagi karya jurnalistik dan literatur. Topik ini menjadi topik yang paling diperbincangkan saat itu, selain kejadian 9/11.  

Kasus yang menghebohkan ini yang menjadi materi dalam film Spotlight arahan sutradara Tom McCarthy dengan skrip yang ditulis juga olehnya bersama Josh Singer. Spotlight menceritakan kisah sekelompok jurnalis investigasi yang tergabung dalam rubrik Spotlight dalam membongkar pelecehan seksual di lingkungan gereja Katolik di Kota Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.


Tim Spotlight yang beranggotakan Walter Robby (Michael Keaton) sebagai editor, Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Matt Carol (Brian d’Arcy James), serta Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams) yang masing-masing bertugas sebagai jurnalis. Dipimpin oleh kepala redaksi Marty Baron (Liev Schreiber) berupaya menggali lebih dalam kasus yang diawali oleh pelecehan seksual yang dilakukan oleh pendeta bernama John Geoghan. Yang menjadikan kasus ini menarik adalah ternyata otoritas gereja terkesan memperbolehkan hal ini terjadi di lingkungan gereja, dan juga pihak berwajib menutup-nutupi hal ini secara sistematis, tanpa adanya proses penyelesaian secara hukum.

Isu ini tentu saja sangat sensitif dan kontroversial, sehingga banyak tantangan yang dihadapi tim Spotlight dalam mencari bukti-bukti tentang kasus ini. Tak semua narasumber mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, walaupun hal tersebut merupakan sebuah bentuk kriminalitas. Penyeledikan pun terus dilakukan hingga diarahkan ke berbagai sudut pandang. Mulai dari sudut pandang hukum, sdari sudut pandan pelaku, hingga korban. Kasus yang mencuat sungguh mencengangkan dan diistilahkan seperti fenomena gunung es.

Memang tidak banyak gimmick ataupun element yang WOW secara teknis di film ini, namun keunggulan film ini hingga memenangkan best picture di Academy Awards 2016 karena kekuatan cerita yang sangat luar biasa. Angka yang sangat mencengangkan dalam kasus ini dipaparkan secara eksplisit. Yang lebih horror, ternyata hal ini tidak hanya terjadi di Boston, namun kasus yang sama mulai terkuak di beberapa negara bagian Amerika yang lain.


Spotlight membahas isu yang sangat sensitif dari beberapa aspek. Bukan hanya menyoroti kasus pelecehan seksual oleh lembaga agama tertua di dunia ini, namun juga menyoroti adanya ketidakterbukaan pihak berwajib, isu tekanan sosial dan moral, krisis kepercayaan terhadap agama, dan juga menyinggung bisnis media massa. Dan semuanya dipaparkan secara pas tanpa mengganggu cerita inti yaitu pembongkaran sebuah skandal besar.

Film ini sangat menguras emosi, apalagi banyak scene yang heartbreaking. Diantaranya ketika Sacha mewawancarai seorang pendeta yang menjadi tersangka. Sang pendeta mengaku dirinya melakukan, dan yang lebih mencengankan dirinya pun mengaku bahwa dulunya dirinya menjadi korban. Sungguh sangat memilukan, apalagi setelah itu Sacha melihat sekumpulan anak-anak yang sedang bersepeda dengan riangnya.  


Yang juga menjadi pembelajaran dalam film ini adalah film dituturkan dengan gaya jurnalis memaparkan sesuatu. Fokus pada tujuan pembongkaran kasus dalam institusi, tanpa mempertanyakan keyakinan para tersangka dan menyerangnya. Plot berjalan sesuai dengan bagaimana para jurnalis ini bekerja tanpa banyak bumbu-bumbu lain dari kehidupan setiap jurnalis. Tidak ada drama yang tidak perlu, fokus  pada kasus dan berhasil memukau di akhir.

Spotlight menjadi salah satu film yang memperlihatkan dimana jurnalis menjadi fungsi yang sebenarnya. Memberitakan kebenaran, menjadi media untuk para orang tertindas. Sungguh film yang sangat menginspirasi, terutama bagi banyak media massa yang tidak jarang bimbang dan dilema ketika harus memberitakan sebuah kebenaran namun banyaknya tekanan dari sana-sini yang membuat media tidak lagi idealis, tidak lagi independen hanya demi kepentingan beberapa pihak.

0 komentar:

Posting Komentar