Kamis, 21 Juli 2016


Film horror merupakan salah satu genre film yang cukup banyak peminatnya. Kebanyakan penikmat film horror senang dengan adegan-adegan menegangkan yang bisa membuat deg-degan hingga berteriak-teriak. Namun banyaknya film horror dengan kengerian artificial terkadang tidak menempatkan film horror dalam artian sesungguhnya. Memang tidak ada salahnya menggoda hingga menakut-nakuti penonton dengan adegan-adegan yang membuat para penonton terkaget dan berteriak, namun ada dua hal yang juga wajib dilakukan oleh film horror: Haunting and disturbing. Yap, menghantui dan mengganggu adalah dua hal wajib yang harusnya dilakukan film horror. Bukan hanya ketika sedang menonton, namun juga setelah berpisah dengan film tersebut.

Sejak franchise Final Destination, menurut saya tidak ada lagi film horror yang dapat mengganggu sedemikian rupa di kehidupan nyata. Teringat bagaimana ketika paranoidnya saya melihat truk besar, ataupun hanya sekedar melihat tiang listrik. Ya, film horror harus mengganggu seperti itu. Namun, sepertinya film-film horror yang haunting and disturbing mulai terasa geliatnya. Sejak menonton It Follows (2015), terlihat bahwa film horror mancanegara mulai beralih ke arah yang baru. Tidak hanya mengandalkan jump scare, namun juga premis yang original dan unik, juga sinematografi yang sangat artistik, tidak lupa juga, unsur hunting and disturbingnya.


Begitupula yang saya rasakan dengan film The VVitch: A New England Folktale (dibaca The Witch) yang menjadi angin baru bagi genre horror luar. Berlatar di New England Colonial abad 16, karena dianggap menganut keyakinan yang berbeda dari yang ada, William (Ralph Ineson) diusir dari perkampungannya bersama istrinya Katherine (Katie Dickie), anaknya Thomasin (Anna Taylor-Joy), Caleb (Harvey Scrimshaw), dan si kembar Mercy (Ellie Graingner) dan Jonas (Lucas Dawson). Tanpa meninggalkan keyakinannya, keluarga ini pun mendirikan pondok dan ladang di lahan yang berada tepat bersebelahan dengan hutan. Anggota keluarga pun bertambah dengan hadirnya kelahiran putra kelima bernama Samuel. Suatu ketika Thomasin sang anak sulung bermain peek-a-boo bersama Samuel di tepi hutan, namun naas, ketika sang kakak membuka mata, sang adik telah menghilang. Menghilangnya Samuel menjadi awal keanehan yang semakin hari semakin mengganggu, mulai dari hasil pertanian mereka yang membusuk dan mengering, hingga mati nya ternak-ternak. Gangguan tersebut tidak lain dan tidak bukan ternyata berasal dari seorang penyihir yang tinggal di hutan.

Hanya satu kata yang menurut saya pantas untuk film ini ketika selesai menontonnya. Briliant! 93 menit durasi film berhasil dimanfaatkan oleh Robert Eggers dengan sangat baik. Untuk film debut, Eggers sungguh luar biasa. Tempo yang dibangun sangat konsisten tanpa ada ketimpangan jarak yang besar, sehingga penonton dapat menikmatinya dengan baik. Ketegangan yang dibangun selama film berlangsung pun tidak terlalu berlebihan, namun unsur disturbing tetap ditingkatkan dari menit ke menit sehingga membuat penonton selalu diliputi rasa ambigu dan penasaran terhadap apa yang sebenarnya terjadi.

Formula yang dimiliki The VVitch tidak datang dari adegan-adegan yang membuat jump scare, namun sajian The VVitch terasa sangat renyah bagi pencinta film horror. Penonton tidak selalu diajak berwaspada ria akan kemunculan karakter di adegan selanjutnya, namun film ini memberikan penontonnya sajian dengan konsep apa yang tak terlihat lebih mengerikan dari yang kamu lihat. Hal ini yang mengganggu penonton karena dengan tempo yang lambat, penonton dibuat tidak nyaman dengan sinematografi depression athmosphere-nya Jarin Blaschke dibalut dengan scoring yang juga sama mengganggunya gubahan Mark Korven. Selain itu shot-shot long take medium close up, low angle dan simetris, juga latar ladang yang terletak di tepi hutan membuat kesan mengerikan dan kesan klaustrofobik sukses dipertahankan dari awal hingga akhir film dengan sangat kental.


Sebenarnya yang menarik dari The VVitch adalah bagaimana Eggers mengangkat salah satu gagasan yang paling mendasar bagi setiap manusia, yaitu kepercayaan. Bagaimana suatu keluarga yang selalu taat terhadap Tuhan akhirnya paranoid, putus asa, menyesal, saling menuduh, hingga kekacauan batin yang akhirnya memecah belah keluarga ini.

Tentu cerita yang briliant tidak mungkin berhasil tanpa performa casts yang baik. Karakter-karakter tampil bermain dengan sangat apik. Kemampuan para casts dalam mengajak penonton ke dalam cerita sungguh sangat memikat. Sang Ayah yang diperankan oleh Ralph Ineson sungguh meyakinkan kita semua tentang tetap berpegang teguh kepada Tuhan, apapun yang terjadi. Namun karakternya juga memperlihatkan betapa bingungnya terhadap apa yang terjadi kepada keluarganya. Performa Ralph Ineson sangat luar biasa menurut saya. Semua ekspresinya terlihat sangat pas. Anya Taylor-Joy pemeran Thomasin sang anak sulung juga bermain sangat meyakinkan. Pembawaanya yang tenang namun penuh tanya ini membuat penonton menebak-nebak siapa dan bagaimana sebenarnya Thomasin ini. Karakter yang lain pun saling melengkapi dan terlihat tidak ada yang timpang. Karakter si kembar Mercy dan Jonas yang terlihat cukup mengganggu dengan kelakuannya juga keakrabannya dengan kambing hitamnya yang cukup creepy. Bisa dibilang semua casts bermain dengan sangat apik, hampir tanpa cela.


Overall The VVitch merupakan film horror klasik artistik dengan cerita yang briliant dan provoking juga didukung performa casts yang apik. Tidak hanya menaikan ketegangan, namun film ini akan meninggalkan kesan disturbing kepada penontonnya dengan cara yang indah dan memikat. Bagi yang menggemari horror jump scare, mungkin The VVitch bukan film yang tepat, namun tidak ada salahnya menonton film horror dengan rasa seni yang tinggi sekali-sekali. 


[MOVIE REVIEW] The VVitch (2016): "Wouldst thou like to live deliciously?"
21.36.00

[MOVIE REVIEW] The VVitch (2016): "Wouldst thou like to live deliciously?"